Perusahaan Tambang Jangan Abaikan Reklamasi
Berita

Perusahaan Tambang Jangan Abaikan Reklamasi

Karena kegiatan eksploitasi cenderung merusak lingkungan.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Lokasi tambang PT Newmont Nusa Tenggara. Foto: Ady
Lokasi tambang PT Newmont Nusa Tenggara. Foto: Ady

Perusahaan yang bergerak di sektor tambang dan mineral tak lepas dari sorotan terkait dampak lingkungan yang dihasilkan. Maka itu tak heran jika kritikan mengalir ke berbagai perusahaan tambang, tak terkecuali PT Newmont.

Menurut Manager Enviromental Affairs PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), Parliyanto Dharmawan, setiap kegiatan yang dilakukan mulai dari pengerukan bahan baku tambang sampai proses pengolahan diupayakan semaksimal mungkin aman bagi lingkungan. Serta mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada terkait lingkungan.

Program lingkungan yang menjadi unggulan perusahaan yang berlokasi di Batu Hijau, kabupaten Sumbawa Barat (KSB), provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menurut pria yang akrab disapa Papang itu adalah reklamasi. Yaitu proses pemulihan lingkungan pada lahan yang digunakan untuk eksploitasi tambang. Karena proses produksi yang dilakukan PT NNT menimbulkan jejak yang cenderung merusak lingkungan.

Misalnya salah satu titik tambang utama yang dikeruk PT NNT di Batu Hijau. Lokasi itu sebelumnya adalah bukit yang tingginya mencapai 600 meter. Setelah digarap, bukit itu hilang dan berubah menjadi sumur berdiameter dua kilometer dengan kedalaman 200 meter. Untuk mengembalikan lahan itu agar aman bagi lingkungan maka diperlukan reklamasi. Untuk menimbun lahan bekas proses produksi tersebut digunakan tanah dan batuan yang berasal dari sisa pengerukan tambang. Sebelumnya, tanah subur yang berasal dari lahan yang akan dijadikan lahan tambang, diselamatkan, sehingga pada saat reklamasi dapat digunakan untuk penimbunan.

Lapisan tanah timbunan sub soil, menurut Papang, memiliki ketebalan 2,2 meter, sedangkan lapisan terluar (top soil) setebal 1,5 meter. Untuk menjaga kestabilan, tanah yang ditimbun berbentuk lereng itu dipadatkan dengan menggunakan buldozer. Hal itu ditujukan agar lahan yang direklamasi tidak mudah tergerus air hujan. Kemudian, tanah diperkuat dengan menanami tanaman rumput-rumputan dan kacang-kacangan.

Penanaman itu dilakukan dengan proses liquid atau bibit cair yang disemprot ke permukaan lahan. Setelah melewati tiga bulan, tanaman itu tumbuh dan lahan tersebut sudah siap ditanami pohon. Papang mengatakan berbagai jenis pohon yang ditanam itu memiliki nilai ekonomis yang tinggi, bahkan ada pula pohon yang tergolong langka. Misalnya pohon gaharu, rotan, majaq dan lainnya.

“Reklamasi yang sudah dilakukan hampir 700 hektar,” kata Papang kepada wartawan di kawasan pertambangan PT NNT di Batu Hijau, NTB, Rabu (6/6).

Papang menjelaskan, satu hektar lahan membutuhkan lebih dari seribu bibit tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan itu, selain melakukan penanaman dengan benih dan bibit, PT NNT membangun kebun pangkas. Metode itu, menurut Papang, termasuk yang terbaik dari serangkaian uji coba yang pernah dilakukan sebelumnya.

Pada tahun 2011 luas lahan yang direklamasi 22,9 hektar dengan biaya AS$ 3,5 Juta. Selain itu Papang menjelaskan sebagai komitmen menjaga lingkungan, PT NNT menyimpan dana khusus untuk proyek reklamasi. Dana tersebut sebagai salah satu alat yang digunakan pemerintah untuk menjaga agar perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan tidak kabur sebelum melakukan reklamasi dan memenuhi aturan hukum lainnya.

Besaran dana yang disimpan itu, menurut Papang, sesuai dengan rencana reklamasi yang akan dilakukan oleh PT NNT. Setelah reklamasi selesai, aparat berwenang melakukan tinjauan langsung ke lokasi. Setelah itu aparat berwenang melakukan pengkajian apakah reklamasi itu sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak. Jika mendapat lampu hijau maka dana itu dapat dikembalikan ke PT NNT.

Sebelumnya, secara terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB), Ali Husein AL Khairy, menyebut PT NNT telah menguasai sekitar 8000 hektar lahan di NTB. Sebagian besar lahan itu, menurut Ali, merupakan ruang hidup bagi warga kabupaten Sumbawa Barat (KSB).

Dengan dikuasainya lahan itu, akses warga menuju hutan terhambat. Padahal, hutan salah satu sumber penghidupan bagi warga, karena terdapat hasil hutan yang biasa diambil warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya madu, rotan dan lainnya. “Hal tersebut sudah berkurang dan di beberapa tempat, tertutup,” ujar Ali kepada hukumonline lewat telepon, Senin (4/6).

Mengingat terdapat kerusakan lingkungan, Ali menjelaskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, PT NNT berkewajiban untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Yaitu dengan rehabilitasi dan konservasi. Sayangnya, uang yang seharusnya digunakan untuk pemeliharaan lingkungan itu malah dipakai PT NNT untuk melakukan manajemen konflik di tengah masyarakat. Akibatnya, program konservasi dan rehabilitasi lingkungan tidak berjalan maksimal.

Oleh karenanya, Ali berpendapat bahwa perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sistem tambang terbuka yang dilakukan PT NNT berpotensi semakin berdampak besar. Karena mekanisme pemulihan lingkungan tidak bersandar pada audit lingkungan terhadap daya tampung dan dukungannya.

Kondisi itu, menurut Ali, akan semakin meluas karena terdapat forum yang terdiri dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah (Pemda) dan PT NNT. Forum bernama komisi kerja eksplorasi (KKE) itu, menurut Ali, akan membahas masalah eksplorasi yang dilakukan PT NNT.

Ali melihat KKE sebagai kepanjangan tangan dari PT NNT untuk memperluas lahan tambangnya di KSB. Sehingga ada legitimasi bagi PT NNT dalam melakukan perluasan tambang. Forum tersebut menurut Ali dibiayai oleh PT NNT, sehingga dia menduga terdapat proses gratifikasi di sana.

Selain itu, Ali mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya mampu menghitung berapa sumber daya alam (SDA) yang sudah dikeruk PT NNT. Jika pemerintah mampu menjawab persoalan itu maka terdapat potensi saham yang dapat dimiliki oleh pemerintah dari PT NNT. Yaitu dengan mengkonversi nilai SDA yang sudah dikeruk menjadi saham pemerintah di PT NNT.

Tags: