UU Pemilu Legislatif Dinilai Diskriminatif
Berita

UU Pemilu Legislatif Dinilai Diskriminatif

Sudah ada preseden, ambang batas nasional merupakan legal policy pembuat undang-undang.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi gelar sidang perdana pengujian UU Pemilu Legislatif. Foto: ilustrasi (Sgp)
Mahkamah Konstitusi gelar sidang perdana pengujian UU Pemilu Legislatif. Foto: ilustrasi (Sgp)

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pemilu Legislatif). Permohonan ini diajukan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan sejumlah kader partai Noviantika Nasution (PDP), Max Lau Siso (PDP), Badikenita Sitepu (PNBKI), Lasmidara (PPDI) yang menguji secara formil dan materil undang-undang yang belum lama disahkan itu.

“Proses pembentukan UU Pemilu Legislatif yang memaksakan ketentuan syarat kepesertaan Pemilu sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif,” tutur salah salah satu pemohon, Lasmidara dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Jum’at (15/6).

Lasmidara berpendapat ketidakadilan dan diskriminasi misalnya terletak dalam Pasal 208 UU Pemilu Legislatif ketika antara partai politik (Parpol) yang memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dengan Parpol peserta Pemilu sebelumnya yang tidak memenuhi ambang batas parlemen.

“Kenaikan angka ambang batas parlemen dari sebelumnya 2,5 persen menjadi 3,5 persen dengan penerapan sistem flat secara nasional hingga ke daerah akan merugikan para pemohon. Sebab, banyak suara rakyat yang memilih para pemohon akan hilang begitu saja jika perolehan suara secara nasional tidak memenuhi ambang batas parlemen,” katanya.

Aturan itu mengakibatkan banyak entitas dan komunitas lokal tidak terwadahi atau terwakili di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Menurut Lasmidara, proses pembentukan UU Pemilu Legislatif menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena tidak membuat perubahan yang lebih baik, tetapi justru menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. “Pasal 208 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1), (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”

Karena itu, para pemohon meminta agar UU Pemilu Legislatif secara keseluruhan baik formal dan materiil bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Menyatakan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif sebelumnya berlaku kembali sebagai UU Pemilu Tahun 2014,” pintanya.

Dalam persidangan yang sama, Partai Nasional Demokrat (NasDem) juga memohon pengujian UU Legislatif. Spesifik, NasDem memohon pengujian Pasal 8 (1) dan (2) UU Pemilu Legislatif terkait persyaratan verifikasi Parpol yang tidak memenuhi syarat ambang batas dalam Pemilu sebelumnya.

Salah satu kuasa hukum yang tergabung Badan Advokasi Hukum (BAHU) Partai NasDem, Janses E Sihaloho menilai Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya” sangat diskriminatif, tidak adil. “Pasal 8 ayat (1), (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena diskriminatif,” kata Janses.

Sebab, hanya partai nonparlemen yang diwajibkan untuk verifikasi parpol dan hanya menguntungkan peserta pemilu sebelumnya yang lolos ambang batas (sembilan partai besar) karena tanpa harus melewati tahapan verifikasi parpol lagi.

Menurutnya, syarat verifikasi parpol dalam Pemilu sebelumnya sangat berbeda dengan syarat verifikasi dalam UU Pemilu Legislatif ini. Misalnya, Pasal 8 ayat (2) poin d yang mensyaratkan memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan. Sementara di UU No. 10 Tahun 2008 syarat itu tidak ada.

“Artinya bisa saja Parpol yang sudah lolos ambang batas nasional itu tak memiliki kepengurusan di tingkat kecamatan, ini sangat diskriminatif. Untuk itu, kita meminta agar ada verifikasi ulang bagi seluruh Parpol,” kata Janses.

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu Legislatif karena bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayatv (2) UUD 1945. “Menyatakan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” katanya.

Menanggapi permohonan, ketua majelis panel, Achmad Sodiki meminta agar pemohonan yang pertama memperjelas legal standing (kedudukan pemohon). “Apakah mengatasnamakan partai atau perseorangan, apakah partainya juga sudah disahkan/diakui resmi sebagai badan hukum atau belum? Alasan kerugian konstitusionalnya juga perlu diperjelas,” sarannya.

Sodiki juga meminta pemohon agar melihat Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 terkait jangka waktu pengujian formil suatu undang-undang. “Di situ ditentukan syaratnya, pengujian formil bisa diajukan selama 45 hari sejak diundangkan dalam lembaran negara,” ujarnya mengingatkan. “Sama halnya dengan persoalan diskriminatif kedua pemohon bisa melihat putusan-putusan MK sebelumnya”.

Anggota panel, M. Akil Mochtar menyarankan jika pemohon kedua hanya melakukan pengujian formil seharusnya mencantumkan 22A UUD 1945 sebagai batu uji. Selain itu, pemohon merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk menguraikan tata tertib DPR. “Tetapi, dengan petitum Saudara agar MK ‘menghidupkan’ kembali UU No. 10 Tahun 2008 itu bukan kewenangan MK, tetapi cukup menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” saran Akil.

Akil mengingatkan aturan parliamentary threshold pernah diputus Mahkamah lewat putusan MK No. 3/PUU-VI/2009 yang intinya Mahkamah berpendapat bahwa ambang batas nasional merupakan legal policy pembuat UU. “Mohon Saudara lihat dan menghayati putusan MK itu agar putusannya tidak nebis in idem (objek perkara yang sama, red),” katanya.

Tags: