Penyiksaan di Indonesia Terus Meningkat
Berita

Penyiksaan di Indonesia Terus Meningkat

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Polisi, TNI dan Sipir menjadi pelaku utama. Foto: ilustrasi (Sgp)
Polisi, TNI dan Sipir menjadi pelaku utama. Foto: ilustrasi (Sgp)

Sejak Juni 2011–Juli 2012, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) melansir hasil pemantauannya atas tindak penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Dari hasil pantauan KontraS, menunjukkan tren penyiksaan cenderung meningkat ketimbang tahun sebelumnya.

U
ntuk periode Juni 2010–Juli 2011 dari 28 persitiwa yang dipantau KontraS, jumlah korban mencapai 49 orang. Sedangkan di bulan Juni 2011–Juli 2012 dari 86 persitiwa yang dipantau KontraS, jumlah korban mencapai 243 orang.

Begitu pula dengan pelaku penyiksaan. Pada tahun 2011, penyiksaan yang diduga dilakukan aparat TNI mencapai tujuh peristiwa dan Polri 21 peristiwa. Sedangkan di tahun 2012, jumlah peristiwa penyiksaan yang diduga dilakukan aparat TNI mencapai 14 peristiwa, Polri 60 peristiwa dan Sipir 12 peristiwa. Lokasi terbanyak terjadinya penyiksaan menurut pantauan KontraS berada di wilayah Papua.

Wakil Koordinator KontraS, Indria Fernida, mengatakan meningkatnya tindak penyiksaan itu terkait dengan adanya kebijakan pemerintah yang memfasilitasi terjadinya hal tersebut. Ditambah pula dengan ketiadaan definisi penyiksaan dalam KUHP. Hal itu menurut Indria menyebabkan hukuman yang tidak setimpal terhadap pelaku penyiksaan.

“Lonjakan luar biasa dalam praktik penyiksaan di Indonesia,” kata Indria dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Jumat (22/6).

Ironisnya, lanjut Indria, penghukuman terhadap aparat Polri dan TNI yang melakukan tindak penyiksaan, sangat minim, tidak setimpal dengan penyiksaan yang telah dilakukan.

Salah satu penyebabnya adalah masing-masing lembaga lebih mengedepankan penyelesaian secara internal. Indria berpendapat, mestinya terdapat lembaga eksternal yang dapat melakukan investigasi independen terhadap aparat yang melakukan pelanggaran. Dengan cara itu diharapkan ada penghukuman yang lebih adil. Jika hal itu terwujud, Indria yakin akan tercipta efek jera, sehingga dapat mencegah berulangnya tindak penyiksaan.

Pengesahan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara beberapa waktu lalu menurut Indria membuka ruang terjadinya praktik penyiksaan. Pasalnya, dalam ketentuan penggalian informasi dalam undang-undang tersebut dapat memicu terjadinya tindak penyiksaan. Karena tak jarang proses penggalian informasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian cenderung mengarah ke arah penyiksaan.

Mengamati praktik penyiksaan yang terjadi, Indria melihat korban tindak penyiksaan dialami oleh kaum yang lemah seperti warga biasa, orang miskin dan lainnya. Para korban penyiksaan biasanya para tersangka kasus kriminal yang tidak didampingi penasihat hukum. Atas berbagai kasus penyiksaan itu, KontraS mendesak pemerintah membuat regulasi untuk mencegah terjadinya tindak penyiksaan. Salah satunya adalah mempercepat pembahasan RUU perubahan KUHP atau menyusun suatu RUU Anti Penyiksaan.

KontraS juga mendesak lembaga pemerintahan terkait seperti TNI, Polri, dan Kementerian Hukum dan HAM menerapkan mekanisme vetting. Mekanisme itu ditujukan bagi aparat, petugas atau pejabat lainnya yang melakukan, memerintahkan atau membiarkan terjadinya praktik penyiksaan. Hal itu sebagai bagian upaya untuk memastikan tidak ada lagi praktik penyiksaan.

Dalam kesempatan sama, Kepala Biro Penelitian KontraS, Papang Hidayat, khawatir jika pemerintah tidak menindak pelaku penyiksaan dengan tegas, maka tindak penyiksaan akan terus berulang. Apalagi sampai saat ini revisi terhadap KUHP dan KUHAP belum juga dilakukan. Namun Papang mengingatkan, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, sebelumnya berjanji bahwa pemerintah akan melakukan revisi KUHP/KUHAP sebelum tahun 2014.

Jika pemerintah tidak mau melakukan revisi tersebut, Papang menjelaskan terdapat alternatif lain, seperti yang dilakukan Filipina. Walau tidak melakukan revisi terhadap KUHP/KUHAP, Papang melanjutkan, Pemerintah Filipina menerbitkan UU khusus yang mengatur tentang penyiksaan.

Untuk pelaku tindak penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan, Papang berpendapat mestinya pelaku dibawa ke pengadilan umum. Sedangkan untuk menjaga independensi dalam proses penyidikan, menurut Papang harusnya dilakukan oleh lembaga eksternal, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Sebelumnya, Papang menyebut KontraS pernah mengusulkan ke pihak terkait agar Kompolnas dapat melakukan penyidikan terhadap aparat Polri yang melakukan pelanggaran. Sayangnya, sampai saat ini Papang menilai usulan itu belum mendapat tanggapan yang berarti.

Jika pemerintah tetap abai dalam usaha mencegah dan menindak para pelaku praktik penyiksaan, Papang berpendapat pemerintah akan menghadapi masalah besar. Pasalnya, saat ini kesadaran masyarakat internasional terhadap tindak penyiksaan semakin baik. Salah satu buktinya sejumlah negara melarang pelaku tindak penyiksaan, termasuk para petinggi negara untuk masuk ke wilayah negaranya.

Contohnya dalam Olimpiade musim panas yang akan digelar Inggris dalam waktu dekat. Pemerintah Inggris, menurut Papang mendeklarasikan para pelaku tindak penyiksaan tidak boleh berkunjung dalam perhelatan olahraga tersebut. “Pelaku penyiksaan tidak akan diperbolehkan datang ke Inggris,” kata Papang.

Tags: