Relevansi Menghapus Kewenangan Notaris
Kolom

Relevansi Menghapus Kewenangan Notaris

Pemerintah dan DPR sudah saatnya melakukan evaluasi menyangkut kebijakan kewenangan membuat akta yang dilakukan oleh aparat pemerintah.

Oleh:
Surahmin
Bacaan 2 Menit
Relevansi Menghapus Kewenangan Notaris
Hukumonline

Pendahuluan
Di negara-negara yang menganut sistem Civil Law, perjanjian dibuat dalam suatu akta oleh notaris. Notaris sebagai pejabat negara yang membuat akta otentik diharapkan netral, dan keterangan yang dibuatnya dapat diandalkan sebagai bukti yang sempurna. Berdasarkan perkembangannya, awalnya notaris diatur dalam Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Peraturan Jabatan Notaris) yang diundangkan pada tanggal 26 Januari 1860 dalam Stbl. Nomor 3, mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1860.  

Kemudian notaris diatur dengan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang merupakan pengganti undang-undang peninggalan jaman kolonial. UU No. 30 Tahun 2004 juga bentuk unifikasi sebagian besar undang-undang yang mengatur mengenai kenotarisan serta untuk menyesuaikan perkembangan hukum dalam masyarakat khususnya di bidang investasi dan ekonomi.

Walaupun baru berlaku delapan tahun sejak diundangkan, UU No. 30 Tahun 2004 diusulkan untuk dilakukan perubahan untuk diperbaiki. DPR berdasarkan kewenangan yang dimilikinya berwenang untuk mengambil inisiatif mengadakan perbaikan terhadap undang-undang melalui mekanisme pembentukan undang-undang yang berlaku (Jimly, 2010:5). Salah satu permasalahan yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 2004 adalah menyangkut kewenangan notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang.

Pasal 15 menyebutkan:
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Notaris berwenang pula:

  1. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  2. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  3. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
  4. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
  5. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
  6. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
  7. membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam draf RUU Perubahan UU No. 30 Tahun 2004, Pasal 15 ayat (2) butir f dan g dihapus karena tidak dapat diimplementasikan. Hal ini menimbulkan reaksi dari kalangan notaris yang merasa kewenangan yang sudah dimilikinya dikurangi. Tulisan ini selanjutnya akan menyikapi relevansi dihapusnya ketentuan tersebut di atas.

Sejatinya draf RUU Jabatan Notaris yang disusun DPR dimaksudkan untuk lebih menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi, dan kewenangan notaris sebagai pejabat yang menjalankan profesi pelayanan hukum untuk pembuatan akta otentik. Kewenangan notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan tanah dan membuat akta risalah lelang pada pelaksanaannya menimbulkan ‘tarik menarik kepentingan’ dan berujung pada ketidakpastian hukum. Berhubung Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian Keuangan tidak mengakui akta notaris yang bukan PPAT atau Pejabat Lelang Kelas II, sehingga kewenangan notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau membuat akta risalah lelang tidak dapat  dilaksanakan.

Kontradiksi penafsiran
Rumusan Pasal 15 ayat (2) huruf f yaitu notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan menimbulkan dua penafsiran yang bertolak belakang. Pertama, secara gramatikal bahwa akta yang dibuat oleh notaris berkaitan dengan pertanahan adalah sama dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Kedua, bahwa akta yang dibuat oleh notaris berkaitan dengan pertanahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f tidak sama dengan akta yang dibuat oleh PPAT.

Kenyataannya, pada penafsiran pertama, akta yang dibuat notaris tidak diproses lebih lanjut kalau notaris belum diangkat menjadi PPAT. Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan tidak akan menerima akta pertanahan dari notaris yang belum diangkat sebagai PPAT. Hal ini didasarkan pada:


Terkait dengan penafsiran kedua, yang menyatakan bahwa akta yang berkaitan dengan pertanahan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f (notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan) tidak sama kedudukannya dengan Akta Pertanahan yang dibuat oleh PPAT, hal ini didasarkan pada klausul pembatasan yang tercantum dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, disebutkan“.....semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Adanya klausul pembatasan tersebut menjadi rujukan bahwa PPAT tetap memiliki ruang lingkup jabatan yang berbeda dengan notaris. Akta-akta pertanahan yang bisa dibuat oleh notaris, adalah sebatas yang bukan menjadi kewenangan PPAT. Pada penafsiran kedua tidak menjadi masalah mengingat selama ini didalam praktik hal tersebut yang terjadi.

Dalam draf perubahan RUU Jabatan Notaris, Pasal 15 ayat (2) huruf f dihapus sesuai dengan penafsiran kedua. Hal ini berarti notaris tidak berwenang membuat akta pertanahan sepanjang yang ditentukan oleh undang-undang yang lain. Sementara itu,notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sepanjang tidak ditentukan dalam undang-undang yang lain. Untuk menegaskan maksud kewenangan notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sepanjang tidak ditentukan undang-undang yang lain, dalam draf perubahan RUU Jabatan Notaris ‘diakomodasi’ dengan ketentuan Pasal 3A yang menyebutkan “Notaris dapat diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Pejabat Lelang
Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan risalah lelang. UU Lelang (Vendu Reglement) yang tertuang dalam Ordonansi 28 Februari 1908 St. 08-189, sampai saat ini masih digunakan sebagai aturan pokok dalam pelaksanaan lelang. Berdasarkan Pasal 35 joPasal (1) huruf a Vendu Reglement bahwa setiap pelaksanaan lelang oleh Pejabat Lelang dibuat berita acara yang disebut Risalah Lelang, yang berwenang membuat risalah lelang adalah Pejabat Lelang.

Dalam Vendu Reglement disebutkan notaris adalah Pejabat Lelang Kelas II. Namun  demikian dalam membuat risalah lelang, notaris tidak dapat serta merta membuat risalah lelang, harus terlebih dahulu mengikuti diklat lelang dan mendapat sertifikat. Setelah itu calon Pejabat Lelang yang berasal dari notaris tersebut baru dapat diangkat dan disumpah selaku Pejabat Lelang Kelas II. Hal ini mengacu pada pada Keputusan Presiden No. 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Pokok Eselon I DepartemenjoKeputusan Presiden No. 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan Organsasi dan Tata Kerja  Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan.

Selanjutnya untuk pengaturan tentang syarat pengangkatan Pejabat Lelang, pada tahun 2010 dan 2005 Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur syarat-syarat pengangkatan Pejabat Lelang dengan PMK No.175/PMK.06/2010 dan PMK No.119/ PMK.07/2005.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, karena untuk menjadi Pejabat Risalah Lelang telah diatur dalam peraturan tersendiri maka dalam draf perubahan rancangan UU Jabatan Notaris,kewenangan notaris untuk membuat risalah lelang dihapus sebagai gantinya secara mutatis mutandis DPR menyiapkan Pasal 3A sebagai solusi.

Substansi UU Jabatan Notaris
UU Jabatan Notaris merupakan payung hukum bagi notaris dalam menjalankan profesi notaris. Secara substansi tugas pokok notaris adalah membuat akta berdasarkan kaidah-kaidah pembuatan akta yang baik dan benar. Substansi ini bermakna filosofis bahwa notaris merupakan pembuat akta yang telah memenuhi kualifikasi melalui pendidikan keprofesian. Bila dikaitkan dengan akta otentik sebagai alat bukti, dimana akta otentik itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Akta yang berkaitan dengan tanah dan akta risalah lelang pada dasarnya merupakan akta. Menghapus kewenangan seperti yang telah disebut diatas pada dasarnya hanya menimbulkan ketidakjelasan maksud kedudukan notaris sebagai pejabat negara pembuat akta yang semestinya dipertegas dalam UU Jabatan Notaris.

Sesuai dengan asas legalitas bahwa sesuatu kewenangan yang diatur dalam hukum harus didalilkan secara jelas untuk menghindari keragu-raguan norma yang diatur. Demikian halnya kewenangan yang dimiliki oleh notaris harus didalilkan di dalam norma yang terkandung dalam UU Jabatan Notaris. Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan “sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain....dst”menimbulkan ketidakpastian kewenangan notaris karena tidak disebutkan secara eksplisit konkrit. Agar tidak menimbulkan perbedaan pendapat tentang apa saja kewenangan notaris seharusnya undang-undang menyebutkannya secara jelas sehingga tidak menimbulkan multi penafsiran.

Menurut pendapat yang sering dikutip dari Roscoe Pound yang mengatakan “Law as a Tool of Social Engineering” atau hukum sebagai alat perubahan sosial. Hukum berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu undang-undang akan mengubah masyarakat, sebab hukum mengatur kehidupan masyarakat supaya tertib yang diputuskan secara bersama oleh Pemerintah dan DPR. Indonesia sebagai negara yang sedang membangun memerlukan pranata hukum yang dapat mendukung proses pembangunan yang sedang berjalan khususnya dalam pembuktian hukum dalam lalu lintas ekonomi untuk melindungi para pihak yang membuat kesepakatan bersama. Kenyataan ini menempatkan kedudukan notaris pada posisi yang strategis, khususnya dalam pembuatan akta otentik.

Draf perubahan RUU Jabatan Notaris sepertinya menafikkan realitas ini. Pembuat akta sepantasnya adalah profesional yang berasal dari latar belakang pendidikan yang mendukung profesinya yaitu pendidikan kenotariatan. Untuk itu, hal ini penting untuk diperhatikan. Pendidikan Kenotariatan adalah pendidikan kekhususan yang setara dengan jenjang pendidikan Strata Dua (S2). Adapun untuk dapat melanjutkan ke pendidikan Kenotariatan harus berlatar belakang pendidikan Strata Satu (S1) Hukum. Dengan demikian, pengetahuan yang dimiliki notaris cukup untuk menghadapi permasalahan yang ada dalam pembuatan akta karena telah mengikuti rentang pendidikan yang cukup lama.

Pertimbangan lain, suatu undang-undang diharapkan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Untuk itu diperlukan cara pandang ke depan dari pembuat undang-undang. Bila suatu undang-undang tidak bertahan lama, implikasi yang timbul antara lain, pemborosan anggaran negara karena pembuatan undang-undang memerlukan anggaran yang cukup besar sepantasnya sebanding dengan kemanfaatannya.

Selain itu, diperlukan cara pandang jauh ke depan menyangkut permasalahan yang akan mungkin terjadi didalam masyarakat yang memerlukan pengaturan. Sebaliknya, bila ini diabaikan hanya akan  menimbulkan ketidakpastian hukum. Pihak-pihak yang terkait langsung akan menunggu perkembangan yang terjadi sehingga pelaksanaan undang-undang tersebut tidak efektif.

Pemikiran berikutnya, perubahan UU Jabatan Notaris juga harus memperhatikan efisiensi anggaran negara. Setiap akta yang dibuat selayaknya dibiayai oleh para pihak yang membuat. Pemerintah dapat memanfaatkan anggaran negara yang ada untuk mensubsidi sektor-sektor yang lebih membutuhkan, seperti untuk subsidi kesehatan dan pendidikan.

Penutup
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan keputusan politik antara Pemerintah dan DPR. Keputusan politik tersebut seyogyanya dibuatdengan memperhatikan realitas yang hidup di tengah masyarakat. Pengabaian terhadap realita yang ada merupakan pengingkaran terhadap hati nurani yang semestinya secara jujur untuk diperjuangkan oleh DPR dan Pemerintah yang telah menerima mandat dari rakyat.

UU Jabatan Notaris merupakan payung hukum bagi profesi notaris, sehingga dilindungi secara hukum. Meski demikian hal yang tidak kalah penting adalah UU Jabatan Notaris juga diharapkan dapat mendorong profesi notaris terus berkembang. Untuk itu, penting bagi para pembuat undang-undang agar membuka ruang yang seluas-luasnya bagi profesi notaris. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kewenangan yang luas bagi notaris dalam membuat akta.

Sementara itu, Pemerintah dan DPR sudah saatnya melakukan evaluasi menyangkut kebijakan kewenangan membuat akta yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Kebijakan ini sudah tidak relevan, jika pada masa lalu hak ini diberikan karena jumlah notaris masih sangat terbatas namun pada saat ini jumlah notaris sudah memadai. Lulusan Magister Kenotariatan dari tahun ke tahun terus bertambah, berhubung saat ini banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta yang membuka Program Kenotariatan. Pemerintah dan DPR seyogianya meninjau hak yang diberikan kepada aparat pemerintah dalam membuat akta. Aparat pemerintah cukup melaksanakan tugasnya dibidang pelayanan pemerintahan kepada masyarakat.

Hal penting lainnya yang layak untuk diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR adalah menyangkut perlindungan kepada masyarakat. Kewenangan yang luas yang diharapkan dapat dimiliki oleh notaris dalam pembuatan hak juga menuntut tanggung jawab yang besar. Masyarakat berhak memperoleh keadilan atas kelalaian yang dilakukan notaris dalam melaksanakan profesinya. Untuk itu,perlu diatur sanksi yang sepadan dengan perbuatan malpraktik yang dilakukan oleh notaris yang lalai atau sengaja merugikan kepentingan masyarakat yang memanfaatkan jasa profesinya.

Dalam rangka mengikuti perkembangan yang ada, pemikiran untuk membuat aturan cyber notary layak untuk dicermati. Jika cyber notary dapat dirumuskan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum, maka pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta tidak harus bertemu secara langsung sehingga menghemat biaya yang harus dikeluarkan. Pemerintah dan DPR selayaknya mencermati hal ini dalam rangka mengikuti perkembangan yang terjadi ditengah masyarakat.

* Penulis adalah Pengamat Hukum.

Tags: