Failed State
Tajuk

Failed State

Sebagai bangsa yang bijak, kita harus menerima kritik apa saja yang dilakukan orang terhadap negara dan bangsa Indonesia.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Failed State
Hukumonline

Akhir-akhir ini diskusi hangat terjadi diantara kita tentang terbitnya laporan penelitian The Fund for Peace (FP) mengenai negara-negara yang dianggap gagal (www.fundforpeace.org).

Sebagaimana ditampilkan dalam websitenya, FP mengklaim dirinya sebagai:
“an independent, nonpartisan, 501(c)(3) non-profit research and educational organization that works to prevent violent conflict and promote sustainable security. We promote sustainable security through research, training and education, engagement of civil society, building bridges across diverse sectors, and developing innovative technologies and tools for policy makers. A leader in the conflict assessment and early warning field, the Fund for Peace focuses on the problems of weak and failing states. Our objective is to create practical tools and approaches for conflict mitigation that are useful to decision-makers.”

Pernyataan di atas telah menggambarkan siapa FP, motif dan tujuan dari penerbitan penelitian mengenai “the failed states”, sehingga pembacanya juga bebas menafsirkan sendiri hasil penelitian tersebut sesuai dengan apa dan siapa pembacanya, dan bagaimana dampak penerbitan tersebut terhadap negara yang dinilai gagal atau setengah gagal oleh FP tersebut, dan juga dampaknya terhadap pemerintah dan anggota masyarakat yang hidup di dalamnya.

Terkait dengan penilaian apakah Indonesia termasuk sebagai negara gagal, FP memberi nilai 80.6 untuk Indonesia dari nilai maksimum 120 (makin tinggi angkanya makin dianggap gagal). Dengan nilai itu, Indonesia berada di peringkat ke 63 dari seluruh jumlah 177 negara yang dinilai. Kita bisa berdebat panjang tentang asumsi, keabsahan data, pemilihan perwakilan responden dan diversitas sumber informasi, metode penelitian serta kaitannya dengan sejarah, latar belakang dan budaya negara yang dinilai.

Bermain-main dengan statistik tentu saja boleh, demikian juga bermain-main dengan persepsi. Tetapi menyatakan suatu negara telah gagal adalah kesimpulan dan hukuman yang sungguh serius. Somalia yang dianggap negara paling gagal dengan skor kegagalan tertinggi, bisa makin dijauhi oleh negara-negara lebih maju, donor dan investor yang ingin ikut membantu untuk mengatasi persoalan-persoalannya.

Negara-negara yang sedang dalam proses transformasi mungkin akan kesal dengan penilaian setengah gagal karena seolah penilaian tersebut menegasikan proses perubahan yang sedang mereka lakukan. Tetapi mungkin kita lebih baik kalau kita fokuskan penilaian FP tentang Indonesia yang menyebabkan panasnya diskusi tentang Indonesia di media masa dan media sosial tentang apakah Indonesia bisa dianggap negara gagal atau setengah gagal oleh penilaian FP tersebut.

Dalam kesimpulannya, FP telah menilai Indonesia sebagai berikut:
“In recent years, Indonesia has been a success story with significant economic growth and political reform. Indonesia successfully survived the global financial crisis by boosting the output of industrial production and exports, resulting in continued GDP growth. In order to sustain its economic growth and democratic development, Indonesia needs to address some of the key challenges that continues to hinder its progress. These challenges include infrastructure development, unemployment, corruption, violence against religious minorities and education. Indonesia’s Public Services score improved as the government has given more power and responsibility to the Ombudsman of Indonesia in order to increase public trust and ensure that public services are delivered in an accountable and transparent manner. The government has failed to adequately hold the military accountable for human rights violations and has done little to stop the violence against religious, sexual, and ethnic minorities. The justice system does not adequately prosecute human rights abusers. Indonesia’s Human Rights score increased due to violence against minority groups and the continued lack of media freedom. The U.S. increased its bilateral relations with Indonesia, implementing the U.S.-Indonesia Comprehensive Partnership, lifting the 11 year ban on certain military aid. The Australian government also provides significant support to elite units of the Indonesian security forces. Political reform and democratic reconciliation have helped rank Indonesia as the world’s third-largest democratic state. Cultural and religious plurality, fundamental liberties, electoral and constitution reform, and implementation of decentralization program are some its success stories. However, disempowered citizens, corruption, weak legislation and judicial systems, violence against religious minorities and a fragmented obstacles.”

Ada sejumlah keraguan akan akurasi kesimpulan FP di atas. Beberapa pujian telah diberikan seperti pernyataan bahwa Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga sedunia. Impresi tersebut hanya betul dari fakta bahwa kita telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, presiden dan wakil presiden dengan sangat demokratis, bahkan untuk pemilihan kepala daerah sudah dimungkinkan pencalonan oleh calon independen, meskipun dengan syarat yang cukup berat.

Tidak ikut dinilai dalam menentukan kualitas demokrasi mengenai hasil pemilu dan pilkada tersebut dengan meneliti lebih jauh apakah parlemen pusat dan daerah mempunyai kemampuan sebagai lembaga legislatif, apakah lembaga legislatif tersebut sudah meningkatkan governance yang tinggi dalam proses legislasi, dan apakah mutu produk legislatif yang dihasilkan sudah mencerminkan kebutuhan minimal untuk melaksanakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang demokratis. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar dan penting yang kita tahu jawabannya masih menghasilkan skor yang jauh dari baik.

Pertanyaan lain yang mengganggu, kenapa sebagai negara demokrasi terbesar ketiga sedunia kita masih memegang rekor buruk untuk indeks persepsi korupsi? Salah satu unsur negara demokratis adalah bersihnya pemerintahan karena pemilu yang bersih. Ini tidak dieksplor lebih jauh dalam penelitian tersebut.  

Kritik lain atas penilaian FP, dilihat dari penulisan kesimpulannya, adalah minimnya pengetahuan peneliti FP tentang situasi Indonesia. Misalnya saja memberi nilai bagus kepada Indonesia karena Komisi Ombudsman diberi kekuasaan lebih besar sehingga masyarakat mempunyai jalur pengaduan keberatan atau komplain terhadap kinerja birokrasi, hal mana menjadikan pelayanan publik dapat berjalan lebih baik dan transparan. Padahal kita tahu bahwa Komisi Ombudsman –sekarang bernama Ombudsman RI berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008- sangat dibatasi kekuasaannya dan hanya diberi wewenang untuk meneruskan temuan-temuannya kepada lembaga-lembaga lain untuk menyelesaikan pengaduan masyarakat. Tentu Ombudsman tetap penting dan perlu diberi wewenang lebih.

Kenyataannya sungguh terbalik, dan baik buruknya pelayanan publik tidak terpengaruh oleh peran Ombudsman. Perbaikan sistem pelayanan publik tidak berjalan karena dana terbatas dan prioritas yang diberikan pemerintah pusat dan daerah untuk bidang ini sangat rendah. Kalaupun ada perbaikan dalam sistem pelayanan publik kita, maka jasa terbesar harus diberikan kepada partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan dan pengawasan pelayanan publik, perbaikan sistem pengadaan dan penindakan yang efektif oleh KPK atas tindak pidana korupsi, dan sistem pelaporan PPATK yang membatasi alur uang haram yang terkait tindak pidana korupsi.

Harap kita perhatikan juga kelemahan FP dalam menilai kegagalan Indonesia dengan menyimpulkan bahwa skor yang tinggi diberikan kepada Indonesia sebagai negara disebabkan karena tidak dihukumnya kejahatan HAM oleh militer Indonesia, sangat rendahnya upaya pemerintah untuk menghentikan dan menindak pelanggaran HAM terhadap grup minoritas berlatar belakang religius, seksual dan etnik, dan masih kurangnya kebebasan pers di Indonesia.

Kritik pertama terhadap penilaian tersebut adalah tentang dimensi waktu yang digunakan, karena pada saat ini hampir tidak ada pelanggaran HAM oleh pihak militer. Betul bahwa kejahatan HAM berat masa lalu tidak cukup ditindak. Penguasa saat ini masih terkait dengan militer pelanggar HAM di masa lalu, sistem hukum militer kita masih menganut penindakan terhadap beberapa tingkat di atas pelaku sehingga jangkauan hukum tidak bisa mencapai jendral-jendral yang mendiamkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM berat tersebut. Masih berkuasanya sebagian milter yang terkait dengan masa lalu menyebabkan ketakutan saksi-saksi untuk maju ke muka untuk membeberkan dan menyerahkan bukti-bukti yang mereka punyai.

Kegagalan kita yang utama di bidang ini adalah gagalnya proses rekonsiliasi nasional yang seharusnya bisa menuntaskan semua masalah pelanggaran HAM berat oleh militer di masa lalu. Momentum itu terjadi pada awal reformasi dan kita gagal memanfaatkannya. Bila momentum tepat digunakan, maka pelaku pelanggaran HAM berat telah dihukum, dan mereka yang terlibat tetapi bukan pemberi keputusan bisa dipaksa mengakui kesalahan mereka secara terbuka, dan negara bisa memberikan kompensasi yang wajar terhadap para korban.

Hal yang sama bisa dilakukan untuk tindak pidana korupsi di masa lalu yang tidak terjamah oleh KPK yang dibatasi oleh sistem hukum kita untuk berpaling ke belakang. Dengan demikian kini seharusnya kita sudah melihat ke depan, tidak lagi pada kekelaman sejarah yang terus menghantui kita sebagai bangsa, karena tidak dituntaskan penyelesaiannya. Kalau kita mau jujur, militer kita sejak reformasi telah ditarik ke barak, dan sistem keamanan masyarakat telah diserahkan sepenuhnya kepada polisi.

Polisi nampaknya masih tidak berniat untuk melakukan reform, dan kita mendengar begitu banyak cerita tentang banyaknya polisi yang tidak efektif dan korup dalam menjalankan tugasnya, dengan akibat makin rendahnya kepercayaan masyarakat akan kredibilitas dan efektivitas polisi dalam memberi perlindungan kepada masyarakat, termasuk grup minoritas dengan berbagai macam latar belakang. Alhasil, kita masih mendengar adanya tindak kekerasan fisik dan psikis yang masih dialami oleh grup minoritas seperti Ahmadiyah, Gereja Kristen di Bogor, dan sekelompok masyarakat di Papua yang tidak dicegah atau didiamkan oleh polisi.

Satu kesimpulan lain yang mengganggu dari FP adalah bahwa kita dinilai sebagian gagal karena kurangnya kebebasan pers di Indonesia. Ini membuktikan peneliti yang bertanggung jawab atas Indonesia tidak mengetahui banyak tentang apa yang sudah dan sedang terjadi di Indonesia. Media masa di Indonesia saat ini, sejak reformasi, bisa dikatakan sebagai salah satu yang terbebas di dunia. Ini merupakan pengetahuan umum yang tidak butuh penelitian njelimet.

Dunia mengakui ini, bahkan keluhan sudah muncul terutama di dalam negeri bahwa kebebasan pers banyak disalahgunakan oleh sebagian insan pers. Makna pers yang bertanggung jawab, bukan dalam pengertian orde baru yang menindas pers dengan seksama, keras dan dalam waktu yang lama, tetapi dalam konteks pers yang menjalankan tugasnya dengan memegang teguh kode etik jurnalistik yang secara umum dapat diterima di negara-negara yang dianggap demokratis, masih belum dimengerti betul oleh sebagian pers kita. Kebebasan pers harus selalu hadir, dan akan selalu menjadi tonggak praktik kenegaraan kita. Hal ini tidak bisa ditawar.

Lambat laun pers yang menjadi alat pemeras, wartawan bodrex dan praktik negatif insan pers lainnya akan menjadi pudar dan tidak akan dihiraukan lagi oleh pembaca, pemirsa, dan pendengar yang semakin pintar dan selektif menyaring berita dan fakta. Bahwa pers tetap akan jadi alat politik, alat pemilik modal dan alat mencapai tujuan-tujuan pemodalnya, merupakan efek samping pers bebas yang sulit untuk dihapuskan. Bahkan di negara maju sekalipun. Itu sebabnya akses ke modal, perizinan dan kemajuan teknologi penting dan harus terus diusahakan dengan gigih bagi perkembangan pers yang betul-betul independen, sehingga selalu ada alternatif bagi siapapun untuk mengetahui sisi-sisi yang benar dari fakta dan peristiwa yang kita alami di setiap pergantian waktu.

Sebagai bangsa yang bijak, kita harus menerima kritik apa saja yang dilakukan orang terhadap negara dan bangsa Indonesia. Anggap saja itu sebagai kritik membangun, manakala kita sadari bahwa ada kebenaran di sana, sekecil atau seremeh apapun kebenaran itu. Kita punya opsi untuk menghiraukan saja kritik mereka yang didasarkan fakta palsu atau obrolan di bar untuk expatriates. Kita juga punya opsi untuk meluruskannya dengan cara-cara bermartabat.

Semua tergantung dari dampak apa dari penelitian atau pemberitaan yang kita anggap dapat merugikan posisi kita untuk membangun negara demokratis dan sejahtera. Kita sendiri sebagai bagian dari masyarakat peduli dan kritis akan terus mengkritik pemerintah untuk memperbaiki kinerja mereka, dengan diskusi terbuka, protes keras, demonstrasi damai atau bahkan dengan menggugat mereka. Pemerintah bisa gagal, tetapi negara tidak bisa gagal, karena hanya negara yang bubar yang bisa dikatakan gagal. Negara yang pemerintah atau bangsa atau rakyatnya sedang berjuang melakukan perubahan kearah yang lebih baik tidak bisa, dan tidak mungkin, dikatakan negara gagal.

Di media sosial, wacana Indonesia sebagai negara gagal ramai diperdebatkan. Sebagian argumen mengambil bagian dari kesimpulan FP, sebagian lagi mengambil contoh langsung seperti penindasan terhadap saudara-saudara kita di Papua. Indonesia dianggap gagal memperlakukan Papua dengan manusiawi dan membangun Papua dengan sumber daya alam yang kaya di daerah itu. Sebagian wacana bahkan dengan ekstrim menganjurkan kita agar melepas Papua untuk merdeka. Bahkan beberapa orang dengan ringannya mengatakan “kalau sudah tidak mau (menjadi bagian dari NKRI), kenapa dipaksa?”

Kita sepakat bahwa diskusi terbuka untuk semua hal perlu untuk mendewasakan demokrasi kita. Bahkan untuk isu paling ekstrim dan sensitif sekalipun. Yang mungkin dilupakan oleh sebagian dari mereka adalah bahwa pemerintah adalah segelintir orang pemenang pemilu/pilkada yang memegang kendali birokrasi pemerintahan selama lima tahun, dan mungkin lebih lama kalau mereka terpilih kembali, kecuali tentunya mereka yang oleh Konstitusi dan Uandang-undang dikenakan batasan waktu. Mereka bertindak mengatas-namakan dan atas biaya negara, tetapi mereka sendiri bukan negara. Mereka bisa salah, dan kesalahan mereka bisa fatal. Manakala mereka membuat kesalahan fatal mereka bisa dipecat atau dimakzulkan. Negara tidak bisa dipecat atau dimakzulkan.

Pada waktu bapak-bapak Konstitusi kita membentuk Negara Republik Indonesia, seperti juga konsep negara dimanapun, ini adalah suatu hal yang abstrak. Negara adalah cita-cita tanpa batas waktu, dan negara bukan operator atau administrator. Negara adalah mimpi untuk membangun masa depan bersama. Pemerintah diberi mandat untuk mewujudkannya. Kalau pemerintah orde baru, atau bahkan pemerintah sekarang, tidak berhasil memperlakukan saudara-saudara kita di Papua sebagai saudara kita sendiri, dan tidak berhasil membangun dan mensejahterakan saudara-saudara kita di Papua dengan dana dari kekayaan alam Papua dan sumber-sumber pendanaan pemerintah pusat sendiri, maka pemerintahlah yang gagal, bukan negara Republik Indonesia.

Kalau jalan pintas yang disodorkan adalah lepasnya Papua dari Negara Republik Indonesia, maka itu suatu pemikiran yang tidak mengerti konsep dan tujuan kita bernegara. Papua secara legal dan dengan proses yang demokratis (referendum) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali menjadi wilayah kita maka Papua akan tetap menjadi setiap jengkal dari tanah air yang perlu dipertahankan, yang hanya bisa terlepas kalau Republik Indonesia sebagai negara telah bubar, atau referendum seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya Papua, mengatakan demikian.

Masalah utamanya untuk Papua sekarang ini adalah bagaimana menghentikan pembunuhan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi disana, baik terang-terangan maupun tersamar. Mereka yang dituduh melakukan makar sekalipun layak untuk mendapat keadilan melalui proses hukum yang terbuka, fair dan dengan menghargai hak-hak hukum termasuk pembelaan bagi tersangka atau terdakwa.

Masalahnya lagi, bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mengefektifkan penggunaan dana APBN dan APBD untuk peningkatan infra struktur, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan saudara-saudara kita di Papua. Data resmi Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa total APBN yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota se-Papua Tahun Anggaran 2012 adalah sebesar Rp 33.303.276.195.800. Sementara itu total APBN yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota se-Papua Barat Tahun Anggaran 2012 adalah sebesar Rp 13.555.423.467.609. Penggunaan dana yang sebesar itu akan sangat berarti bagi percepatan pembangunan Papua, sepanjang tidak dikorupsi dan digunakan secara efektif oleh pemda-pemda terkait dan para pejabatnya.

Mereka yang tidak mendapatkan akses pendidikan, perawatan kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan publik yang baik bukan hanya Papua, tetapi juga banyak daerah terpencil di pelosok nusantara. Pembangunan memang masih timpang, keadilan hukum dan ekonomi memang masih belum terwujud, dan pemerintah dan lembaga-lembaga negara di pusat dan daerah masih korup dan tidak efektif. Tetapi itu bukan menjadikan kita menyerah, dan membubarkan negara atau merelakan lepasnya wilayah negara. Itu harusnya hanya memicu kita untuk bekerja lebih keras, melakukan perubahan di setiap lini, dan mengisi demokrasi dengan perilaku yang jauh lebih beradab dan berbudaya, termasuk merangkul lebih erat semua saudara kita di daerah-daerah terpencil, baik sebagai pemerintah, kelompok masyarakat maupun individu-individu sebangsa.

ats, Hillary Bay, Juni 2012

Tags: