Usia KPK Bisa Dibatasi
Berita

Usia KPK Bisa Dibatasi

Diusulkan KPK hanya berusia lima tahun, setelah itu bisa diperpanjang.

Oleh:
ali
Bacaan 2 Menit
Mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra saat diwawancarai oleh wartawan. Foto: Sgp
Mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra saat diwawancarai oleh wartawan. Foto: Sgp

Pembahasan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK masih terus dibahas oleh Komisi III DPR. Kali ini, Komisi yang membidangi hukum, keamanan dan HAM ini mengundang ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Beberapa masukan disampaikan oleh Yusril yang ikut membidani lahirnya UU KPK yang berlaku saat ini saat menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM.

Yusril menceritakan, KPK dirancang untuk menangani perkara yang kerugian negaranya minimal Rp1 miliar dan perkara yang menarik perhatian masyarakat. “Maksud kami, waktu itu KPK tak perlu terlalu banyak tangani perkara, tetapi sekali menangani perkara korupsi harus serius,” ujar Yusril di Ruang Rapat Komisi III, Kamis malam (28/6).

Sayangnya, lanjut Yusril, fakta yang terjadi saat ini lain. Ia mengatakan KPK justru lebih sering menangani kasus gratifikasi dimana tak ditemukan kerugian negara. Contohnya, kasus traveller cheque. “Apa KPK bisa menyidik kasus-kasus seperti ini? Dulu maksud kami, KPK tak bisa. Biar Polri dan jaksa yang menangani,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yusril menuturkan bahkan ada kasus yang sama sekali tak mendapat perhatian masyarakat, tetapi ditangani oleh KPK. “Begitu KPK menggebrak, baru mendapat perhatian masyarakat. Ini kan terbalik. Harusnya menjadi perhatian terlebih dahulu, baru KPK bertindak. Saya mau buka lagi notulen ketika UU KPK ini dibahas. Saya ingatnya begitu,” tuturnya.

Yusril menuturkan bahwa KPK memang didesain sebagai lembaga adhoc, yang bersifat sementara untuk mengatasi masalah yang sudah sangat akut. Institusi penegak hukum yang ada dianggap tak mampu lagi menangani kasus korupsi itu. “Kalau keadaan sudah normal, KPK bisa diganti. Jadi, bukan permanen,” ujarnya.

Ia menyadari dalam UU KPK yang berlaku sekarang memang tak ada kata-kata bahwa lembaga KPK adalah lembaga adhoc. “Tapi, nuansanya ketika undang-undang ini dibuat memang begitu, bahwa KPK adalah lembaga adhoc,” tuturnya.

Anggota Komisi III dari PKS Sunmanjaya Rukmandis memahami penjelasan Yusril ini bahwa semangat atau roh dibentuknya KPK itu adalah sebagai lembaga adhoc. Karenanya, ia bertanya apakah mungkin bila usia KPK ditentukan dalam revisi undang-undang ini, sehingga ada batas waktu sampai kapan KPK akan membenahi kondisi yang tak normal ini.

“Apa perlu disebutkan dalam undang-undang, ada batas waktu keberadaan KPK. Apakah ini etis atau tidak?” tanyanya.

Yusril menjelaskan, dahulu, kewenangan KPK memang cukup besar yakni bisa melakukan penyidikan dan penuntutan sekaligus. Pada prinsipnya, ia menilai lembaga yang melakukan penyidikan dan penuntutan harus diperankan oleh lembaga yang berbeda. Namun, pembentuk undang-undang secara sadar memberi dua kewenangan ini kepada KPK untuk mengatasi keadaan yang tak normal itu. “Ini disadari,” ujarnya.

Bahkan, lanjutnya, pembentuk undang-undang menyadari bahwa lembaga yang akan dibentuk ini adalah lembaga yang sangat kuat kewenangannya. “Waktu itu saya bilang, ini kita sedang membuat Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, red), pengadilannya itu seperti Mahmilub. Itu saya ucapkan sambil ketawa-tawa. Karena niat awalnya memang lembaga ini tak lama,” ceritanya.

Karena sifatnya yang sementara, Yusril menilai tak masalah bila revisi undang-undang ini memasukan batas waktu bagi keberadaan KPK. “Misalnya, lima tahun lagi dari sekarang. Kalau ternyata lewat, bisa diperpanjang. Daripada sekarang nggak tegas, dan KPK kerja tak fokus. Setiap hari menangkapi koruptor tetapi pemberantasan korupsi tak maksimal,” usulnya.

Ambil Alih Perkara
Selain status keberadaan KPK, Yusril juga menilai revisi UU KPK ini harus mengatur secara tegas pengambilalihan perkara oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Ia menjelaskan tiga institusi itu merupakan institusi yang berwenang melakukan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Ia menilai kemungkinan bertabrakan sangat mungkin terjadi.

Misalnya, suatu perkara yang disidik oleh Kejaksaan, kemudian dihentikan, lalu disidik lagi oleh KPK. “Nanti kita capek sendiri, tak akan selesai. Perlu pertimbangan secara tegas mengatur hal ini. Kalau sudah di SP3 oleh Kejagung, walau masih bisa dibuka kembali, lalu nanti diambil alih oleh KPK. Atau bisa juga sebaliknya,” ujarnya. 

“Kepastian hukum itu sangat penting sekali, makanya batasan institusi lain untuk menagmbil alih perkara harus diatur dalam revisi UU KPK ini,” ujar pria yang sempat menjadi tersangka kasus Sisminbakum yang ditangani oleh Kejagung yang kemudian perkaranya di SP3 ini. 

Tags: