Yusril Uji Ketentuan Putusan Batal Demi Hukum
Berita

Yusril Uji Ketentuan Putusan Batal Demi Hukum

Format putusan pemidaan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP dianggap berlaku sama bagi putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, sampai Mahkamah Agung.

Oleh:
nov
Bacaan 2 Menit
Yusril Ihza Mahendra ajukan uji ketentuan batal demi hukum. Foto: Sgp
Yusril Ihza Mahendra ajukan uji ketentuan batal demi hukum. Foto: Sgp

Setelah melaporkan Kepala Kejaksaan Negeri Banjarmasin, Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materil dan formil terhadap ketentuan putusan batal demi hukum yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP. Yusril mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 3 Juli 2012.

Dalam pengajuan uji materi, Yusril mengatakan dirinya bertindak selaku kuasa hukum terpidana perambahan hutan, Parlin Riduansyah. Yusril berpendapat putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum kliennya tiga tahun penjara tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. 

Dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, putusan pemidaan harus memuat sejumlah hal. Ada 12 poin yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, akibatnya putusan akan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP.

Pasal 197 ayat (1) KUHAP

Surat putusan pemidanaan memuat:
a.  Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.  Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.   Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.  Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e.  Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.   Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.  Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h.  Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.    Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.   Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.  Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; 
l.    Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;


Menurut Yusril, putusan pemidanaan kliennya tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Oleh karenanya, sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP, putusan Parlin seharusnya batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi. Namun, Kejaksaan tetap mengeksekusi putusan MA.

Hal itu membuat Yusril selaku kuasa hukum Parlin mengajukan uji materil Pasal 197 KUHAP ke MK. Isi Pasal 197 KUHAP dinilai multi tafsir, sehingga menghilangkan asas due process of law dan kepastian hukum. Selain itu, norma dalam Pasal 197 KUHAP dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

“Pasal 197 ayat (1) itu tidak jelas maknanya, apakah  keharusan mencantumkan semua hal yang disebutkan dalam pasal itu hanya berlaku untuk pengadilan negeri dan pengadilan tinggi saja, atau kah berlaku juga bagi Mahkamah Agung,” kata Yusril dalam rilis yang diterima hukumonline, Rabu (04/7).

Yusril berpendapat, format putusan pemidaan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP berlaku sama bagi putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, sampai Mahkamah Agung. Maka dari itu, apabila putusan MA tidak mencantumkan “perintah agar terdakwa ditahan, tetap ditahan atau dibebaskan”, putusan itu tetap menjadi batal demi hukum.

“Kalau batal demi hukum, putusan itu dianggap tidak ada. Apanya yang mau dieksekusi,” ujar Yusril. Dengan demikian, jaksa tidak dapat mengeksekusi putusan yang batal demi hukum, meski Pasal 270 KUHAP menyebutkan tugas jaksa mengeksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Lebih dari itu, Yusril menyatakan kontroversi penafsiran Pasal 197 KUHAP belum lama ini dibahas dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Jaksa Agung. Hasil kesimpulan Raker meminta Jaksa Agung memperhatikan Pasal 197 KUHAP dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan.

Akan tetapi, kontroversi tersebut belum juga berakhir hingga saat ini. Kejaksaan tetap mengeksekusi putusan-putusan yang dianggap sejumlah pihak batal demi hukum. Untuk itu, Yusril menyerahkan penafsiran Pasal 197 KUHAP kepada MK. “Putusan MK bersifat final dan mengikat, karena itu wajib ditaati semua pihak,” tuturnya.

Sebelum MK memutus uji materi Pasal 197 KUHAP, Yusril meminta Kejaksaan Agung agar menahan diri untuk tidak memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum. Menurutnya, jika Kejaksaan tetap memaksakan eksekusi, akan banyak pihak yang dirugikan.

Sementara, Wakil Jaksa Agung Darmono mempersilakan Yusril untuk mengajukan uji materil. “Ya silahkan saja karena setiap warga negara berhak untuk menuntut keadilan terhadap apa yang dirasa tidak adil. Sebaliknya pihak lain juga berhak mempertahankan kebenaran apa yang telah dipandang sebagai kebenaran,” ujarnya.

Darmono belum mengetahui apakah Kejaksaan Negeri Banjarmasin akan tetap mengeksekusi Parlin atau menunggu putusan MK terlebih dahulu. Dia mengaku belum mendapat laporan dari Kepala Kejaksaan Negeri Banjarmasin.

Tags: