Polri Sulit Direformasi
Berita

Polri Sulit Direformasi

Tak bisa menanggalkan karakter militeristik.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Polri belum bisa melepaskan karakter militeristik walau sudah berpisah dari TNI. Foto: Sgp
Polri belum bisa melepaskan karakter militeristik walau sudah berpisah dari TNI. Foto: Sgp

Karakter militeristik ternyata belum bisa dilepaskan oleh aparat kepolisian meskipun Polri sudah berpisah dari TNI sejak tahun 1999. Hal ini mengakibatkan tujuan reformasi di tubuh Polri tak berjalan. Ujungnya, fungsi kepolisian sebagai pengayom dan pelindung masyarakat pun juga tak berjalan.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang fokus mengamati masalah pertahanan dan keamanan, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan salah satu penyebab masih melekatnya militerisme adalah gaya kepemimpinan pemerintahan orde baru yang mengarah kepada militerisme.

Bila dibandingkan dengan beban yang ditanggung TNI sejak reformasi, Dani melihat beban Polri lebih berat. Pasalnya, Polri dalam menjalankan kerja-kerjanya bersinggungan langsung dengan masyarakat sipil. Untuk melakukan perlindungan dan melayani masyarakat sipil, gaya militeristik tidak tepat untuk digunakan.

“Ketika terjadi pemisahan TNI dan Polri 1 April 1999, tidak serta merta membuat wajah polisi hari ini menjadi seperti yang diharapkan masyarakat,” kata Dani dalam diskusi di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta, Rabu (4/7).

Dani menilai UU Polri tidak cukup untuk mengatur kelembagaan Polri dalam konteks negara demokrasi. Menurutnya, harus ada peraturan perundang-undangan lain yang mengatur aparat keamanan, khususnya Polri agar sejalan dengan konteks negara demokrasi. Misalnya perubahan konsep tentang intelijen.

Dalam negara demokrasi intelijen menurut Dani tidak boleh memiliki kewenangan untuk menculik dan membunuh. Namun, dari pengalamannya berdiskusi dengan petinggi di lembaga keamanan, masih memiliki pandangan yang berseberangan dengan konsep demokrasi.

Untuk mewujudkan Polri yang profesional, Dani menyebut tidak melulu yang disorot adalah kinerja Polri. Namun yang tak kalah penting harus dipikirkan adalah kesejahteraan para personil Kepolisian, terutama di tingkat bawah. Di masa pemerintahan Orde Baru, Dani melihat terdapat pembiaran yang dilakukan pemerintah ketika itu. Yaitu TNI/Polri diwajibkan harus mandiri dalam mendapatkan anggaran, mengingat upah bagi personil TNI/Polri tergolong kecil.

Pembiaran itu yang menimbulkan terciptanya bisnis TNI atau Polri yang masih bertahan sampai saat ini. Menurut Dani, untuk mewujudkan lembaga keamanan, khususnya Polri yang profesional maka negara harus menjamin kesejahteraan aparat keamanan. Jika hal itu tidak dilakukan maka kecenderungan lembaga keamanan untuk melakukan penyelewengan kekuasaan, besar. Misalnya, menjual jasa keamanannya ke pihak lain.

Bagi Dani, tindakan yang dilakukan Polri dalam menangani konflik di masyarakat seperti pemadam kebakaran. Sehingga Polri baru bertindak ketika konflik meletus. Selain itu, Dani mengingatkan agar aparat keamanan jangan bersifat reaktif dalam menangani konflik. Pasalnya, modal sosial yang dimiliki masyarakat di Indonesia cukup untuk menangani konflik yang ada. “Terdapat kearifan lokal,” tutur Dani.

Selain itu Dani menekankan kebijakan yang dibuat Polri harus dijabarkan secara lengkap bagaimana implementasinya. Sehingga kebijakan itu dapat disosialisasikan dan dijalankan sampai ke tingkat bawah. Pasalnya, Dani melihat kepolisian yang berada di tingkat bawah bersinggungan langsung dengan masyarakat.

Menurut Dani, reformasi yang ada di tubuh Polri dapat dilihat dari sejauh mana sikap masyarakat terhadap kehadiran aparat Kepolisian di wilayahnya. Jika masyarakat merasa cemas dan khawatir, maka langkah yang telah ditempuh Polri, harus dipertanyakan.

Ujung Tombak
Pada kesempatan yang sama Sosiolog, Tamrin A Tamagola, mengatakan jika Polri berkomitmen untuk membenahi dirinya, maka Polsek dan Polres harus menjadi prioritas untuk dibenahi. Pasalnya, kedua lembaga yang berada di bawah Polri itu bersinggungan langsung dengan masyarakat. “Itu ujung tombak Polri,” ujar Tamrin.

Tamrin menyoroti terdapat pejabat Polri yang memiliki kepentingan di suatu wilayah. Ketika wilayah itu meletus konflik, maka Kepolisian tidak dapat bertindak sebagaimana mestinya. Sehingga Polri seolah terlihat tidak tegas dalam menindak dan menegakkan hukum. Tamrin melihat lembaga Kepolisian tidak memiliki modal yang cukup untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik yang ada di masyarakat. Maka tak jarang Polri sering disebut sebagai pemadam kebakaran.

Di tengah kerumitan yang ada di lembaga Kepolisian, Tamrin mengatakan pesimis jika Polri dapat berubah secara cepat. Untuk melakukan perubahan itu menurut Tamrin tidak cukup mengandalkan Kapolri saja. Tapi Presiden langsung yang harus turun tangan dan bertindak secara tegas untuk mewujudkannya. Sayangnya, Tamrin melihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu berbuat seperti yang diharapkan.

Tamrin juga menyoroti penjualan jasa pengamanan yang sering dilakukan aparat Kepolisian untuk menjaga aset suatu perusahaan. Namun Tamrin heran, dengan cukup banyak uang yang didapat dari hasil penjagaan itu, kesejahteraan para personil Polri masih rendah. Tamrin memperkirakan uang itu sebagian besar masuk ke pejabat Polri.

Sementara, Kepala Biro Reformasi Birokrasi Polri, Brigjen Andjaya, menyebut Polri sudah memiliki grand design untuk mengubah kelembagaan Polri agar humanis, melayani dan melindungi masyarakat. Konsep besar itu, menurut Andjaya, ditargetkan tercapai di tahun 2025. Walau begitu tiap Kapolri punya kebijakan untuk melakukan percepatan agar target tersebut segera tercapai.

Andjaya mengatakan Polri terus menjalankan amanat reformasi. Bahkan dibanding lembaga lain sejak bergulirnya reformasi, lembaga TNI/Polri yang paling cepat direformasi yaitu setahun setelah reformasi dikumandangkan. Andjaya juga menyebut pada tahun 2000 Polri direstrukturisasi sesuai dengan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, Andjaya menekankan saat ini Polri membuka diri kepada semua pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil (LSM) untuk membantu Polri melakukan pembenahan.

“Kita mencoba dengan semua pihak untuk bagaimana memperkuat Polri. Termasuk juga untuk pelatihan HAM dan sebagainya,” ujar Andjaya.

Andjaya mengatakan dalam menangani konflik atau unjuk rasa, Polri berupaya untuk menggunakan kekuatan lunak. Misalnya tidak menggunakan senjata lengkap, hanya tameng dan pentungan. Pendekatan itu, menurut Andjaya, juga dilakukan untuk menghadapi unjuk rasa di Papua. Dia juga menyebutkan tak sedikit anggota Polri yang menjadi korban dalam menjalankan tugasnya menangani konflik. Walau begitu Andjaya mengakui masih terdapat personil Kepolisian yang bertindak brutal dalam menangani aksi unjuk rasa.

Untuk mewujudkan wajah Polri yang humanis, Andjaya menekankan perlu dorongan dan kritikan dari berbagai pihak. Termasuk jika masyarakat menemukan personil Polisi yang berkelakuan buruk, untuk dilaporkan kepada pihak yang berwenang.

Tags: