Aktivis Keukeuh Tolak RUU Pendidikan Tinggi
Berita

Aktivis Keukeuh Tolak RUU Pendidikan Tinggi

RUU ini dinilai akan memperlancar rencana privatisasi pendidikan.

Oleh:
Ali/M-14
Bacaan 2 Menit
RUU PT dikhawatirkan permudah komersialisasi pendidikan. Foto: Sgp
RUU PT dikhawatirkan permudah komersialisasi pendidikan. Foto: Sgp

Sejumlah aktivis peduli pendidikan yang tergabung dalam Komite Nasional Pendidikan (Komnas Pendidikan) secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU Dikti) yang rencananya disahkan oleh pemerintah dan DPR pada Juli ini. Mereka menilai RUU Dikti ini kental dengan kepentingan pemerintah dan kepentingan kelompok yang menginginkan otonomi kampus secara mutlak.

Alghifari Aqsa dari LBH Jakarta, salah seorang anggota Komite, menilai RUU Dikti ini di satu sisi ingin menancapkan kekuasaannya dalam pendidikan tinggi. Sedangkan, di sisi lain, ada juga kepentingan kelompok yang menginginkan otonomi mutlak atau privatisasi tanpa memperhatikan kondisi faktual dan keinginan dari masyarakat.

“RUU PT (Dikti, red) ini berindikasi terhadap kelancaran privatisasi pendidikan,” ujar Alghifari dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Jumat (6/7).

Alghifari melanjutkan setelah adanya ‘pencabutan’ UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah ingin berusaha kembali mengakomodasi kebutuhan peraturan di bidang pendidikan dengan mengeluarkan RUU Dikti ini. RUU Dikti ini diciptakan untuk meliberalisasi pendidian, legitimasi privatisasi, komersialisasi, bahkan disorientasi pendidikan.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi berpendapat pendidikan Indonesia tidak memerlukan RUU Dikti ini. Pasalnya, substansi dari RUU ini sudah diatur dalam beberapa peraturan pemerintah (PP) lainnya, misalnya PP No. 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Lebih lanjut, Fajri mengemukakan alasan dikeluarkannya RUU Dikti ini sudah bukan substansi lagi tetapi lebih kepada masalah teknis, yakni RUU ini sudah lama dibahas dan sudah banyak uang keluar, maka bila tidak disahkan akan dianggap menghambur-hamburkan uang. Padahal, menurutnya dana anggaran lebih banyak keluar bila RUU ini tetap disahkan.

Dalam siaran persnya, Komite menyebutkan beberapa dampak adanya RUU Dikti ini, antara lain: semakin melambungkan biaya Pendidikan Tinggi karena otonomi yang kebablasan, pendidikan hanya disorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar, kesenjangan antara perguruan tinggi swasta dalam negeri dengan perguruan tinggi asing, semakin menyempitnya akses rakyat atas pendidikan, dan semakin hilangnya demokratisasi dalam kehidupan kampus.  

“Berdasarkan adanya dampak-dampak tersebut, Komnas Pendidikan menyatakan menolak pengesahan RUU PT (Dikti, red) menghentikan liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan, menghentikan kekerasan dan tindakan anti demokrasi lainnya di dalam kampus dan di seluruh jenjang pendidikan dan mewujudkan pendidikan ilmiah; demokratis; dan mengabdi kepada rakyat,” demikian bunyi siaran persnya.

Sekadar mengingatkan, RUU Dikti ini sebenarnya telah diwacanakan akan disahkan pada masa sidang DPR yang lalu. Namun, rencana pengesahan itu akhirnya dibatalkan karena pemerintah memohon kepada DPR agar menunda persetujuan dan pengesahan karena ada beberapa hal yang masih perlu dimasukan ke dalam RUU ini. Permintaan penundaan oleh pemerintah ini akhirnya disetujui di rapat paripurna DPR

Kala itu, Menteri Pendidikan M Nuh mengatakan ada tiga substansi yang akan dimasukan ke dalam RUU ini. Pertama, peran perguruan tinggi dalam menyaipkan pemimpin bangsa di masa depan. Kedua, perguruan tinggi sebagai pilar bangsa dalam membangun dan mengawal transformasi demokrasi. Ketiga, perguruan tinggi dalam menyaipakn kovergensi budaya dan peradaban dunia. 

Tags: