Sembarang Berkicau di Twitter Berpotensi Dipidana
Berita

Sembarang Berkicau di Twitter Berpotensi Dipidana

Delik pencemaran nama baik dalam UU ITE lebih menguntungkan publik.

Oleh:
cr-13
Bacaan 2 Menit
Bersama Facebook, Twitter menjadi laman jejaring sosial terpopuler di Indonesia. Foto: ilustrasi (Sgp)
Bersama Facebook, Twitter menjadi laman jejaring sosial terpopuler di Indonesia. Foto: ilustrasi (Sgp)

Bersama Facebook, Twitter menjadi laman jejaring sosial terpopuler di Indonesia. Dikutip dari laman Wikipedia, Twitter adalah sebuah mikroblog yang memungkinkan penggunanya mengirim dan membaca pesan yang disebut kicauan (tweet). Substansi kicauan bisa beragam mulai dari yang ringan hingga yang berat. Menuduh seseorang melakukan tindak pidana tentunya termasuk kategori kicauan yang berat. Karenanya, konsekuensinya pun berat.

Kasus terkini yang dialami M Fajriska Mirza alias Boy mungkin bisa dijadikan contoh betapa berat konsekuensi dari kicauan yang berisi tuduhan. Boy yang berprofesi sebagai pengacara dilaporkan ke Kepolisian gara-gara kicauannya di Twitter. Jamwas Kejagung Marwan Effendy selaku pelapor mengaku telah dicemarkan nama baiknya oleh kicauan akun Twitter @fajriska yang diyakini Marwan milik Boy. Kasus ini tengah diproses oleh Kepolisian.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Topo Santoso mengatakan kicauan seseorang di Twitter memang dapat dijerat dengan Pasal 310 KUHP. Pasal yang mengatur tentang delik pencemaran nama baik ini dapat diberlakukan jika substansi kicauan tersebut mengandung indikasi pencemaran nama dan kehormatan orang lain di muka umum.

Namun, menurut Topo, penerapan Pasal 310 KUHP terhadap kicauan seorang pengguna Twitter harus dilihat kasus per kasus. Karena, lanjutnya, belum tentu kicauan seseorang menyakiti orang lain. Terkadang, kata Topo, pernyataan seseorang belum tentu bernuansa pencemaran, tetapi sekadar kritik.

“Nggak semua orang dengan perkataan seperti itu, dia merasa tercemar dan tersinggung. Jadi, kalau orang itu merasa tercemar karena suatu berita, bisa saja. Makanya deliknya pun delik aduan,” ujar Topo melalui telepon, Sabtu (30/6).

Dijelaskan Topo, jika dilihat dari rumusannya, Pasal 310 KUHP mengandung frasa ‘menuduhkan suatu hal’. Frasa ini berarti seseorang mengatakan seseorang yang lain melakukan suatu hal apapun itu. “Suatu hal ini tidak mesti dia telah melakukan tindak pidana asal sesuatu perbuatan yang dituduhkan padanya bersifat mencemarkan,” imbuhnya.

UU ITE Menguntungkan
Sementara itu, ahli hukum telematika Edmon Makarim menjelaskan untuk menentukan apakah seorang pengguna Twitter dapat dijerat dengan hukum pidana atau tidak, maka harus dikembalikan pada unsur-unsur pasal pidana yang dipakai. Saat ini, setidaknya terdapat dua norma yang dapat dipakai yakni Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 310 ayat (1) KUHP.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


Jika yang digunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, kata Edmon, maka salah satu unsur yang harus dibuktikan adalah “…membuat dapat diaksesnya”. Unsur ini, lanjutnya, terkait dengan pengaturan follower (pengikut) akun Twitter yang melontarkan kicauan yang dipersoalkan. Menurut Edmon, jika akun Twitter tersebut menerapkan pengaturan follower terbuka alias tidak terbatas untuk pihak-pihak tertentu, maka asumsinya kicauan tersebut dimaksudkan untuk diketahui oleh khalayak ramai (umum).

“Tindakan men-tweet dapat dikatakan bermotivasi agar informasi yang disampaikannya diketahui oleh umum, karena tindakannya adalah dalam rangka membuat suatu informasi menjadi dapat diakses oleh publik,” papar Edmon melalui surat elektronik.

Dikatakan Edmon, apapun norma yang digunakan oleh penegak hukum, Pasal 27 UU ITE dan Pasal 310 KUHP pada dasarnya sifat deliknya sama yakni delik aduan. Namun jika dibandingkan, Pasal 27 UU ITE sebenarnya relatif lebih menguntungkan bagi publik karena pasal itu mensyaratkan harus ada unsur “tanpa hak”. Menurut dia, penegak hukum berkewajiban membuktikan bahwa orang yang diadukan telah melakukan pencemaran nama baik itu bertindak tanpa hak.

“Dalam doktrin pidana, umumnya dipahami bahwa istilah ‘tanpa hak’ adalah cakupan dari pengertian secara melawan hukum. Tanpa hak dapat berarti bahwa seseorang tidak punya hak dalam tindakannya untuk melakukan sesuatu, atau telah melakukan sesuatu diluar haknya, bertentangan dengan kewajibannya, atau tindakan yang ditujukan semata-mata untuk merugikan orang lain,” papar Edmon.

Soal pembuktian, menurut Edmon, penegak hukum berdasarkan kewenangannya dapat meminta data kepada pihak ketiga seperti service provider demi kepentingan penyidikan. “Hal tersebut dapat mencakup computer stored data dan communication data,” imbuhnya.

Perkembangan Doktrin
Sementara itu, salah seorang pengguna Twitter, Anggara Suwahju berpendapat substansi kicauan yang bersifat menista memang dapat dijerat hukum pidana. Namun, dia menegaskan bahwa unsur-unsur dari pasal pidana yang diterapkan harus dapat dibuktikan. “Asalkan pengguna harus mempunya niat, tuduhan akan sesuatu hal, dan tersebar di muka umum,” imbuh pemilik akun @anggarasuwahju.

Meskipun berpendapat kicauan Twitter dapat dijerat dengan hukum pidana, namun Anggara mengaku tidak setuju dengan keberadaan pasal delik pencemaran nama baik. Tegas, dia meminta pasal ini dicabut. Menurut dia, keberadaan pasal delik pencemaran nama baik dapat menghambat lalu lintas informasi.

“Saya menentang pasal ini. Lebih baik digunakan mekanisme perdata saja karena posisinya lebih seimbang karena biasanya orang yang merasa tercemar itu mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan menggunakan semua resources, dan menggunakan tangan negara untuk menghukum orang. Akibatnya kan sangat serius, lalu lintas informasi jadi terhambat,” katanya.

Untuk diketahui, Anggara pernah menjadi kuasa hukum sejumlah Blogger yang menguji Pasal 27 ayat (3) UU ITE ke MK. Sayang, upaya Anggara dan sejumlah Blogger membatalkan pasal tersebut gagal. MK menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE konstitusional.

Selain itu, Anggara mengingatkan bahwa jaringan sosial belum tentu berarti di muka umum, bisa saja privat karena adanya pilihan protected feed. Artinya, hanya kalangan tertentu saja yang bisa membaca kicauan seseorang. Apalagi, papar Anggara, definisi “di muka umum” telah banyak berkembang di sejumlah negara. Di Italia, misalnya, pengadilan setempat telah menyatakan laman Facebook tidak masuk dalam kategori milik publik.

“Kenapa masuk ke ruang tertutup karena diperlukan persetujuan untuk menjadi teman. Akan tetapi, Twitter belum tahu,” kata Anggara. Namun, perkembangan doktrin seperti yang terjadi di Negeri Spaghetti itu sayangnya belum terjadi di Indonesia.

Tags: