Pemerintah Dituntut Serius Tangani Pekerja Migran
Utama

Pemerintah Dituntut Serius Tangani Pekerja Migran

Terutama ketika pekerja migran tertimpa masalah.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dituntut serius tangani buruh migran. Foto: Sgp
Pemerintah dituntut serius tangani buruh migran. Foto: Sgp

Kebutuhan ekonomi biasanya menjadi pendorong bagi seseorang untuk bekerja sebagai pekerja migran. Sebut saja seorang perempuan bernama Wati, wanita asal Karawang ini terpaksa menjadi pekerja migran untuk membantu meringankan beban suaminya mencari nafkah.

Pasalnya, penghasilan suami Wati yang pas-pasan dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, terutama untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dengan harapan mendapat penghasilan besar, Wati memberanikan diri berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di tahun 2005.

Sayangnya, ketika bekerja negeri orang, Wati mendapat berbagai macam bentuk pelanggaran HAM, mulai dari tindak kekerasan sampai perkosaan. Ketika berusaha kabur dari rumah majikannya yang dianggap kejam, Wati terjatuh dari ketinggian dan mengalami patah tulang.

Kisah tragis Wati tak berhenti disitu, ketika diperkosa oleh majikannya, Wati dituduh aparat pemerintah di Arab Saudi melakukan zina dan kemudian dipenjara. Padahal Wati merasa dirinya adalah korban perkosaan. Akibat dituduh berzina Wati dihukum 200 kali cambukan dan dipenjara.

Walau mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, Wati mengaku tidak pernah mendapat bantuan dari pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi. Bahkan Wati kebingungan mencari informasi untuk meminta bantuan ataupun mengadu.

Akhirnya, dengan bantuan sejumlah organisasi masyarakat sipil (LSM) seperti Serikat Buruh Migran Karawang (SBMK) dan Solidaritas Perempuan (SP), Wati akhirnya dapat pulang kembali ke kampung halaman di tahun 2008. Namun Wati menyayangkan sikap KBRI yang tidak pernah memberi bantuan padanya ketika menghadapi masalah.

“Pemerintah Indonesia juga nggak tahu kalau saya mengalami penyiksaan itu,” kata Wati dalam diskusi yang digelar sejumlah LSM di Bogor, Sabtu (14/7).

Pada kesempatan yang sama pengurus SBMK, Dadang Muhtar, mengatakan seringkali pemerintah Arab Saudi tak memberi informasi kepada KBRI Indonesia ketika terdapat pekerja migran asal Indonesia yang terbelit masalah. Di samping itu, KBRI di Arab Saudi juga tidak tanggap untuk mencari tahu dan memantau kondisi pekerja migran Indonesia.

Parahnya lagi, Dadang melihat KBRI tidak memberi bantuan yang diperlukan pekerja migran yang menghadapi masalah. Bahkan, ketika pekerja migran mengadu ke KBRI, Dadang melihat biasanya pihak di KBRI malah menyudutkan si pekerja migran. Contohnya menyebut si pekerja migran tidak menurut perintah majikan sehingga mendapatkan tindak kekerasan dan lain sebagainya.

Akibat minimnya perlindungan dari pemerintah Indonesia dan Arab Saudi kepada pekerja migran, Dadang merasa pekerja selalu dalam posisi dirugikan. Selain itu, Dadang juga menyayangkan sikap sejumlah pihak yang masih saja memanfaatkan kondisi pekerja migran yang tertimpa masalah. Misalnya, terdapat pekerja migran yang minta perlindungan dan kabur dari rumah majikan karena disiksa, Dadang menyebutkan biasanya terdapat oknum KBRI yang menawari pekerja tersebut untuk bekerja pada majikan lain.

Dari pantauannya, Dadang melihat seringkali pemerintah ataupun PJTKI menekankan kepada pekerja migran soal kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Namun, pekerja migran tak pernah diberi tahu secara komprehensif apa saja yang menjadi haknya dan bagaimana langkah yang dilakukan ketika terlilit masalah.

Ironisnya, Dadang merasa tak sedikit PJTKI yang tak mampu melindungi pekerja migran yang diberangkatkannya tersandung masalah, begitu pula yang terjadi dengan Disnakertrans. “Malah mereka minta bantuan ke saya,” tutur Dadang.

Mayoritas Perempuan
Sementara aktivis SP, Thaufiek Zulbahary, mengatakan mayoritas pekerja migran yang mengadukan kasus mereka  kepada SP sangat tragis. Menurutnya, faktor ekonomi menjadi pemicu utama sebagian masyarakat Indonesia tertarik untuk menjadi pekerja migran. Pasalnya, akibat globalisasi, masyarakt menjadi sulit mengakses sumber penghidupan sehingga kemiskinan tumbuh subur.

Contohnya di Karawang, Thaufiek berpendapat daerah itu dulu salah satu penghasil beras terbesar di Indonesia. Hal itu bagi Thaufiek menandakan terdapat lahan yang luas dan tanaman dapat tumbuh subur. Sayangnya, masyarakat tidak dapat menikmati sumber penghidupan yang ada di wilayahnya itu. Akibatnya, banyak warga Karawang yang menjadi pekerja migran sehingga saat ini Karawang menjadi salah satu kantong calon pekerja migran terbesar di Indonesia.

Mengingat mayoritas pekerja migran itu kaum perempuan, Thaufiek berpendapat hal tersebut secara tak langsung mengakibatkan kaum perempuan menjadi korban. Karena pekerja migran perempuan rentan dan kerap mengalami pelanggaran HAM. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, Thaufiek menyebut dalam kurun waktu 1998-2010 kasus kekerasan seksual yang dialami pekerja migran perempuan mencapai lebih dari enam ribu kasus.

Faktor lain yang menyebabkan sering terjadinya tindak kekerasan yang dialami pekerja migran, menurut Thaufiek, minimnya pembekalan yang diberikan pihak terkait kepada calon pekerja migran. Misalnya, materi yang diberikan di balai latihan kerja (BLK), Thaufiek melihat materi dan jangka waktu pelatihan yang diselenggarakan oleh PJTKI tidak cukup.

Selain itu hak pekerja migran seringkali tidak disampaikan, akibatnya pekerja migran tidak mengetahui apa saja yang menjadi haknya. Menurut Thaufiek, dalam pelatihan, biasanya pekerja migran selalu ditekankan untuk patuh perintah majikan.

“Hak-hak pekerja migran bukan dikuatkan, tapi yang ditekankan hanya soal jangan melawan majikan, nurut sama majikan dan lain-lain,” ujar Thaufiek.

Sebagaimana berita sebelumnya, Kepala Subdit Pengembangan Standardisasi Kompetensi Dirjen Binalattas Kemenakertrans, Eko Widayanto, mengatakan secara umum regulasi yang diterbitkan pemerintah sudah lengkap. Termasuk materi pelatihan terhadap calon pekerja migran. Salah satu regulasi yang mengatur soal pelatihan bagi calon pekerja migran menurut Eko yaitu Permenakertrans No PER.23/MEN/IX/2009 Tentang Pendidikan Dan Pelatihan Kerja Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.

Namun, dalam pelaksanaannya Eko mengakui terdapat penyimpangan dalam praktik pelatihan tersebut sehingga terdapat materi yang tidak tersampaikan dengan baik. Oleh karenanya, mulai 1 Mei 2012 Eko menjelaskan pemerintah mulai membenahi kelemahan dengan cara menggunakan sistem online pada setiap kegiatan pengelolaan TKI. “Untuk mencegah penyelewengan,” kata dia.

Tags: