MK Jamin Hak Buruh Ajukan PHK
Utama

MK Jamin Hak Buruh Ajukan PHK

Bermodalkan putusan ini, pemohon akan kembali mengajukan gugatan ke PHI.

Oleh:
Agus sahbani
Bacaan 2 Menit
MK jamin hak buruh ajukan PHK. Foto: ilustrasi (Sgp)
MK jamin hak buruh ajukan PHK. Foto: ilustrasi (Sgp)

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimohonkan Andriyani. Dengan suara bulat sembilan hakim konstitusi menyatakan Pasal 169 ayat (1) inkonstitusional bersyarat.

Artinya, setiap keterlambatan pembayaran upah yang melewati tiga bulan berturut-turut atau lebih, buruh dapat mengajukan permohonan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Meski, setelah tiga bulan lebih itu pengusaha membayar upah secara tepat waktu.

“Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu’,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan amar putusan di gedung MK, Senin (16/7).

Pasal 169 ayat (1) huruf f menyebutkan pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan: (c) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Andriyani menguji
 Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan lantaran gugatan PHK ditolak PHI Jakarta dengan alasan upah yang terlambat sudah dibayar perusahaan sejak persoalan ini diadukan ke Sudinakertrans pada Desember 2010. Andriyani adalah karyawan swasta yang pernah bekerja di PT Megah buana Citramasindo (PJTKI) sejak 2 Januari 1998 sebagai staf pengadaan tenaga kerja. Namun, sejak bulan Juni 2009 hingga November 2010 pembayaran upahnya sering mengalami keterlambatan.

Sejak perusahaan membayar upah itu, hak mengajukan PHK menjadi hilang. Hal ini mengakibatkan hubungan kerja menjadi tidak harmonis. Menurut pemohon, pasal itu dapat sengaja disalahgunakan perusahaan agar pekerja/buruhnya mengundurkan diri karena tidak mampu bertahan diberikan upah yang tidak tepat waktu.

Untuk itu, pemohon meminta agar Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah berpendapat tidak membayar upah pekerja tiga bulan berturut-turut adalah pelanggaran serius atas hak-hak pekerja/buruh yang berimplikasi luas bagi kehidupan pekerja seperti dijamin Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, hak konstitusional untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan wajar dalam hubungan kerja. Sebab, upah bagi pekerja adalah penopang bagi kehidupannya dan kehidupan keluarganya.

“Dengan lewatnya waktu tiga bulan berturut-turut pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu kepada pekerja, sudah cukup alasan menurut hukum bagi pekerja untuk meminta PHK. Hak ini tidak hapus ketika pengusaha kembali memberi upah secara tepat waktu setelah (tiga bulan lebih) pelanggaran itu terjadi,” kata Hakim Konstitusi, Hamdan Zoelva saat membacakan pertimbangan putusan.

Mahkamah menilai ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c undang-undang a quo tidak memberi kepastian apakah dengan pembayaran upah secara tepat waktu oleh pengusaha kepada pekerja setelah pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut menggugurkan alasan pekerja untuk mendapatkan PHK?

Menurut  Mahkamah, hak pekerja untuk mendapatkan PHK tidak terhalang adanya tindakan pengusaha yang kembali membayar upah pekerja secara tepat waktu setelah adanya permohonan PHK oleh pekerja ke pengadilan. Dengan ketentuan pekerja telah melakukan upaya yang diperlukan untuk mendapatkan haknya agar upah dibayarkan secara tepat waktu namun tidak diindahkan oleh pengusaha.

“Walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkret telah cukup bukti ketentuan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional pekerja untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi,” tegas Hamdan.

Usai sidang, Andriyani mengaku berbekal putusan MK ini dirinya akan kembali menggugat perusahaan ke PHI. Sebab, kerugian konstitusionalnya belum dipulihkan. “Langkah ke depan saya akan menggugat ke PHI lagi dan semoga nanti gugatan saya di PHI dikabulkan,” katanya singkat.

Tags: