Pemekaran Wilayah Tidak Boleh Melebihi Batasan Provinsi
Berita

Pemekaran Wilayah Tidak Boleh Melebihi Batasan Provinsi

Dalil pemohon dinilai sama dengan perkara tahun 2005.

Oleh:
ash
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang pleno Mahkamah Konstitusi. Foto: Sgp
Suasana sidang pleno Mahkamah Konstitusi. Foto: Sgp

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 9 ayat (4) huruf a UU No. 54 Tahun 1999tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Tebo, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi dan Penjelasan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Sidang kali, masih mengagendakan pemeriksaan ahli.

Ahli yang dimintai keterangannya adalah pihak terkait I (Provinsi Jambi) yakni Maruarar Siahaan (mantan hakim konstitusi) dan Dian Puji Simatupang (Dosen FHUI). Dalam keterangannya, Maruarar berpendapat tidak ada hak konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya dua undang-undang.

“Argumentasi yang diajukan pemohon kurang lebih sama dengan putusan MK No. 16/PUU-III/2005. Pembentukan kabupaten baru itu tidak melanggar hak konstitusional Pemohon,” kata Maruarar Siahaan di ruang sidang Gedung MK, Selasa (17/7).

Dia mempertanyakan hak konstitusional pemohon yang terlanggar dengan berlakunya kedua UU itu. Padahal, dalam putusan MK No. 16/PUU-III/2005 menyatakan tiadak meneriam permohonan pemohon karena tidak memiliki legal standing.

Ia menilai batu uji Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 25A UUD 1945 yang digunakan dalam pengujian kedua undang-undang itu juga tidak relevan. “UU Pemekaran itu kan merupakan penjabaran dari norma konstitusi,” kata Maruarar.

Menurutnya, konsep lex posteriori derogat legi priori (aturan yang baru mengesampingkan yang lama) tidak dapat diterapkan sama terhadap norma yang berbeda. “Asas penafsiran hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama tidak bisa diterapkan dalam kasus ini. Karena itu, normanya berbeda, jika diterapkan akan menimbulkan ketidakpastian,” jelasnya.

Ahli pihak terkait I lainnya, Dian Pudji Simatupang mengatakan suatu UU yang menetapkan kabupaten/kota dimekarkan sudah semestinya tidak melampaui ruang lingkup wilayah atau batas provinsi itu.

“Pejabat administrasi yang berwenang dalam penetapan batas wilayah secara pasti tidak dapat mendasarkan pada hal yang ada di luar UU yang menjadi dasar. Dengan demikian, suatu UU pemekaran wilayah pasti mengacu pada UU provinsinya, sehingga batasan wilayahnya pun tidak boleh melebihi batasan provinsi,” kata Dian.

Permohonan ini diajukan Alias Welo (mantan anggota DPRD Lingga, Kepri) dan Idrus (mantan anggota DPRD Purwodadi, Jawa Tengah) yang memohon pengujian Pasal 9 ayat (4) huruf a UU No. 54 Tahun 1999 dan Penjelasan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2002 terkait sengketa kepemilikan Pulau Berhala.

Pasal 9 (4) huruf a berbunyi, “Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai batas wilayah : (a) sebelah utara dengan Laut Cina Selatan.” Sementara Penjelasan Pasal 3 berbunyi, “Kabupaten Kepulauan Riau dalam UU ini, tidak termasuk Pulau Berhala karena Pulau Berhala termasuk dalam wilayah administrasi Prov. Jambi sesuai dengan UU No. 54 Tahun 1999.”

Para pemohon yang mengklaim sebagai warga Lingga (Kepri) merasa dirugikan lantaran dimasukkannya Pulau Berhala menjadi bagian Provinsi Jambi atau Tanjung Jabung Timur sesuai UU No. 54 Tahun 1999. Sehingga Pulau Berhala yang selama ini menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lingga dan Provinsi Kepri akan beralih menjadi PAD Tanjung Jabung Timur, Jambi.

Menurutnya, Penjelasan Pasal 3 UU tentang Pembentukan Provinsi Kepri dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), Pasal 25A, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Penjelasan Pasal 3 UU Pembentukkan Kepri tidak sejalan dengan Pasal 3 UU itu sendiri karena sejak berlakunya UU No. 54 Tahun 1999 dan UU lain yang terkait tidak ada satupun aturan yang menyebutkan Pulau Berhala bagian Provinsi Jambi atau Tanjung Jabung Timur.

Tags: