Pemda Harus Perhatikan Pembagian Royalti Migas
Berita

Pemda Harus Perhatikan Pembagian Royalti Migas

Peraturan daerah dan pajak menjadi salah satu penghambat kegiatan hulu migas.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Koordinator Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah (kanan). Foto: Sgp
Koordinator Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah (kanan). Foto: Sgp

Sektor minyak dan gas bumi (migas) merupakan salah satu sektor yang strategis yang menopang seperempat anggaran pembangunan nasional. Tentu saja, hasil bumi ini harus dikelola dengan baik agar hasilnya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat yang ada di Indonesia, khususnya masyarakat yang berada di daerah pertambangan.

Koordinator Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Maryati Abdullah, mengatakan sebaiknya pemerintah daerah (Pemda) tidak terlalu sibuk dengan mengeluarkan dan membuat peraturan daerah terkait pajak dan retribusi dari perusahaan tambang yang ada di daerahnya masing-masing. Namun, alangkah lebih baik jika Pemda fokus kepada persoalan pembagian royalti hasil tambang. Pasalnya, kebanyakan pembagian royalti di berbagai daerah dipandang tidak adil sehingga merugikan daerah itu sendiri.

“Daerah jangan banyak fokus membuat peraturan soal pajak dan retribusi, tetapi lebih baik fokus ke Kontrak Kerja Sama (KKS),” katanya usai acara seminar di Jakarta, Kamis (26/7).

Tentu saja, lanjutnya, perhatian yang fokus terhadap royalti dapat meningkatkan penerimaan daerah yang nantinya akan dipergunakan kembali untuk kesejahteraan masyarakat. Operasi industri ekstraktif migas diharapkan akan membawa dampak ekonomi maupun sosial yang signifikan bagi masyarakat di daerah berupa peningkatan penerimaan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kegiatan ekonomi daerah maupun peningkatan kegiatan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kendati demkian, permasalahan yang acap kali muncul adalah Pemda atau DPRD terkadang melihat bahwa adanya kegiatan industri pertambangan migas di daerahnya merupakan peluang untuk memberlakukan berbagai macam-macam pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), meski disadari bahwa PDRD tersebut akhirnya juga akan mengurangi bagian daerah dalam perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH) migas dari pusat ke daerah.

Bahkan, kata Maryati, Pemda dan DPRD terkadang lupa mengawasi jalannya kegiatan industri migas sesuai dengan peraturan yang berlaku, menerapkan kaidah pertambangan dan tanggungjawab sosial-lingkungan yang baik serta memfasilitasi kepentingan masyarakat sekitar tambang dengan perusahaan tambang yang merupakan salah satu bagian terpenting.

“Sementara jika ada masalah, dalam penyelesaiannya komunikasi dan dialog sering terabaikan,” kata Maryati.

Meski di dalam UU Migas yang saat ini berlaku telah terdapat beberapa aturan besar yang dijadikan cantolan dalam mengakomodasi kepentingan daerah, namun di dalam pelaksanaan ketentuan peraturan tersebut masih terdapat beberapa persoalan yang dihadapi. Jika tidak terdapat kepastian penyelesaiannya maka akan menjadi penghambat kegiatan migas ke depannnya.

Beberapa hambatan tersebut antara lain adanya keterlibatan pemerintah daerah dalam proses penentuan dan penawaran Wilayah Kerja (blok) migas dan rencana pengembangan lapangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 21 UU Migas yang mewajibkan di level provinsi, sementara sebagian besar Wilayah Kerja (WK) migas berada di level kabupaten atau kota.

Sebaiknya, sambung Maryati, akomodasi kepentingan masyarakat kabupaten seharusnya lebih diakomodasi mengingat masyarakat di level inilah yang paling merasakan dampak dari kegiatan industri migas.

Selain itu, Pemda dan masyarakat sekitar tambang selama ini masih kesulitan untuk mengakses informasi mengenai kegiatan pertambangan, minimnya koordinasi antara perusahaan dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program tanggung jawab sosial perusahaan serta terabaikannya blok perpanjangan penyertaan modal.

Melihat beberapa hambatan tersebut, Maryati meminta agar DPR dan pemerintah dapat memperhatikan akomodasi kepentingan daerah dalam RUU Migas. Beberapa hal penting yang menjadi perhatian adalah keterlibatan pemerintah daerah dalam proses penentuan blok dan penawaran Wilayah Kerja (Blok) migas dan rencana pengembangan lapangan. Hendaknya, tidak hanya melibatkan pemeirntah provinsi tetapi juga pemerintah di level kabupaten atau kota.

DPR dan pemerintah juga harus memperhatikan persoalan akses atas hak informasi bagi pemerintah dan masyarakat sekitar tambang terhadap informasi terkait penerimaan migas dan perhitungan bagi hasil, informasi dampak lingkungan serta akses informasi program CSR. Selain itu, penyertaan modal tidak hanya berada pada KKS melainkan juga pada kontrak-kontrak perpanjangan.

Bahkan, masyarakat berhak mengetahui informasi dan sosialisasi dampak lingkungan dari kegiatan industri reaktif migas dan memperhatikan aspek muatan lokal dalam kepengusahaan industri migas yang juga harus diatur dan diakomodasi lebih jelas.

Sementara itu, Dosen Institut Teknologi Bandung Arsegianto berpendapat isu pajak daerah merupakan salah satu hal terpenting yang dibahas dalam RUU Migas ini. Menurutnya, peraturan daerah yang memuat tentang pajak sering dianggap menjadi hambatan bagi kegiatan hulu migas. Sehingga, DPR dan pemerintah harus melihat persoalan ini agar tidak terulang d kemudian hari.

“Peraturan daerah atau pajak sering jadi hambatan hulu migas,” katanya pada acara yang sama.

Bahkan, pemerintah pusat sebaiknya perlu menetapkan pajak yang jelas untuk sektor migas ini sehingga pemda tidak harus membuat peraturan derah yang berisi tentang besaran pajak migas yang harus diterima oleh daerah. Hal ini untuk mengurangi persoalan-persoalan pajak yang acap kali menjadi masalah dalam industri migas di Indonesia.

“Selain itu perlu ditumbuhkan industri manufacturing peralatan migas,” pungkasnya.

Tags: