Aturan Hak Hakim Harus Diatur dalam PP
Utama

Aturan Hak Hakim Harus Diatur dalam PP

Putusan ini menjadi payung hukum untuk memperkuat pengesahan draf PP Kesejahteraan Hakim.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
MK menyatakan aturan hak hakim harus diatur dalam PP. Foto: Sgp
MK menyatakan aturan hak hakim harus diatur dalam PP. Foto: Sgp

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian pengujian Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. MK membatalkan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” di tiga pasal itu, sehingga harus dibaca diatur dengan PP.

Menurut Mahkamah, Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum sepanjang frasa ‘diatur dengan peraturan perundang-undangan’ bertentangan dengan UUD 1945. “Sepanjang tidak dimaknai ‘diatur dengan Peraturan Pemerintah’,” ucap Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan amar putusan pengujian tersebut di gedung MK Jakarta, Selasa (31/7).

Ketiga pasal yang mengatur hak-hak hakim sebagai pejabat negara itu dimohonkan seorang hakim PTUN Semarang, Teguh Satya Bhakti. Ia menilai Pasal 25 ayat (6) UU PTUN itu dinilai telah mengesampingkan hak-hak pemohon sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan PTUN.

Menurut pemohon, pasal-pasal itu mengandung ketidakjelasan rumusan sepanjang frasa ‘diatur dengan peraturan perundang-undangan’ karena tidak menyebutkan secara jelas jenis peraturan yang menerima delegasi kewenangan UU PTUN itu. Ketidakjelasan ini telah mengakibatkan hak-hak pemohon sebagai hakim tidak dapat dilaksanakan.

Karena itu, pemohon meminta MK untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap frasa 'diatur dengan peraturan perundang-undangan' dalam Pasal 25 ayat (6) itu harus ditafsirkan (diartikan) diatur dengan peraturan pemerintah.

Mahkamah menilai Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum agar ketentuan mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa kejelasan jenis peraturannya.

Padahal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan berbagai jenis peraturan perundang-undangan yakni UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Hal itu melanggar prinsip kepastian hukum yang adil seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang akan dipergunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai hak-hak hakim dalam praktik menyebabkan lahirnya beraneka ragam peraturan. Misalnya, PP No. 11 Tahun 2008 tentang Peraturan Gaji Hakim. Keppres No. 89 Tahun 2001 tentang Tunjangan Hakim, dan Perpres No. 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Peradilan.    

“Berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, maka frasa ‘diatur dalam peraturan perundang-undangan’ dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” kata Hakim Konstitusi M. Alim.

Dalam kesempatan yang sama, permohonan Teguh atas pengujian Pasal 6 ayat (1) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditolak MK. Pengujian ini terkait pengelolaan keuangan negara oleh presiden yang menjadi penyebab keuangan MA tidak independen. MK beralasan independensi hakim dan lembaga peradilan secara konstitusional tidak terkait dengan kewenangan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan anggaran negara.

Mahkamah mengakui saat ini masih terdapat persoalan yang didalilkan pemohon yakni kurangnya sarana prasarana pengadilan, pembiayaan sidang, dan jaminan kesejahteraan hakim. Namun, hal itu bukanlah pertentangan norma UU dengan UUD 1945, melainkan lebih pada persoalan konkret yang dialami pemohon.

“Karena itu, tidak benar segala bentuk ketergantungan dan keterikatan institusi badan peradilan pasti akan mengurangi independensi hakim dalam mengadili perkara karena MA tidak menentukan sendiri besaran anggarannya,” tuturnya.

Usai sidang, Teguh, yang didukung rekan-rekannya sesama hakim, menyambut baik atas putusan MK ini. “Kami, kalangan hakim sangat berbahagia dengan adanya putusan MK ini. Sejak putusan MK ini pemerintah harus segera menetapkan peraturan pemerintah yang mengatur hak-hak hakim sebagai pelaksana kekuasan kehakiman,” katanya.

Menurutnya, putusan MK ini menjadi payung hukum untuk memperkuat pengesahan draf PP Kesejahteraan Hakim yang baru selesai disusun tim gabungan lintas lembaga (MA, KY, Kemenkeu, Menpan RB, dan Sesneg). “Dengan putusan MK ini, akan memperkuat draf PP hak-hak Hakim sebagai pejabat negara yang baru disepakati beberapa pimpinan lembaga negara kemarin,” imbuhnya. “Kalau soal UU Keuangan Negara, wong permohonan SKLN presiden saja ditolak.”

Tags: