Banyak Lubang di Draf Revisi UU TKI
Utama

Banyak Lubang di Draf Revisi UU TKI

Masih lebih menitikberatkan pada sisi penempatan ketimbang perlindungan. Lebih berpihak kepada PJTKI.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Banyak lubang di draf revisi UU TKI. Foto: Sgp
Banyak lubang di draf revisi UU TKI. Foto: Sgp

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengkritik draf revisi UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) yang sedang digodok Komisi IX DPR. Soalnya draf itu masih minim membahas perlindungan buruh migran. Parahnya lagi draf tersebut tak memuat ketentuan dari beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi.

Salah satu instrumen internasional yang baru diratifikasi Indonesia adalah Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Menurut Anis, setelah ratifikasi, pemerintah seharusnya melakukan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pekerja migran. Sayangnya, Anis melihat pemerintah belum melakukannya.

Bagi Anis, pekerja migran sangat mengharapkan revisi UU PPTKLN dapat membenahi carut-marut pengelolaan pekerja migran, khususnya soal perlindungan. Dari pantauannya, Anis merasa DPR telah membahas revisi UU PPTKLN ini sejak tahun 2010. Namun, setelah tiga tahun berlalu, draf tersebut jauh dari apa yang diharapkan pekerja migran.

Setidaknya ada 18 ketentuan dalam draf revisi UU PPTKLN yang disorot Anis, diantaranya revisi tersebut masih menekankan pada penempatan pekerja migran bukan perlindungan. Menurut Anis hal tersebut sudah termaktub dalam UU PPTKLN dan semestinya diubah agar fokus pada perlindungan bagi pekerja migran.

Dengan undang-undang yang selama ini hanya menekankan pada bisnis penempatan pekerja migran, menurut Anis sangat menguntungkan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ketimbang pekerja migran.

Khusus tentang pekerja migran yang bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga (PRT), Anis melihat draf tersebut tidak memberi perlindungan. “PRT tidak diatur perlindungannya,” kata Anis dalam diskusi di kantor Migrant Care Jakarta, Jumat (10/8).

Anis mengeluhkan peran PJTKI yang begitu besar dalam draf tersebut. Pasalnya, PJTKI diberi kewenangan yang sangat besar untuk mengurusi penempatan dan perlindungan pekerja migran. Padahal selama ini, menurut Anis, PJTKI tidak serius dalam memberikan perlindungan dan itu adalah salah satu masalah besar dalam pengelolaan pekerja migran.

Salah satunya penerapan biaya perekrutan yang sangat besar dibebankan kepada pekerja migran. Sekalipun si pekerja migran tak sanggup membayar, PJTKI dapat memberi utang. Akibatnya, pekerja migran harus dipotong upahnya.

Masalah lain dari draf ini adalah minimnya perlindungan terhadap keluarga pekerja migran. Menurut Anis, keluarga pekerja migran, khususnya anak-anak seharusnya mendapat perlindungan. Salah satunya soal pendidikan.

Oleh karenanya, Anis berharap Komisi IX DPR khususnya panja revisi UU PPTKLN harus diaudit kinerjanya atas pembentukan draf tersebut. Pasalnya, draf itu tidak menjawab kompleksitas persoalan pekerja migran dan tidak mencerminkan isi konvensi pekerja migran.

Anis juga meminta agar pembahasan revisi UU PPTKLN harus dilakukan lintas komisi yaitu komisi I, III, IX dan VIII. Ini penting untuk menghindari konflik kepentingan karena tersebar rumor ada beberapa anggota dewan yang memiliki bisnis PJTKI. Selain itu, DPR juga harus mengajak masyarakat sipil, termasuk pekerja migran dan keluarganya untuk berpartisipasi dalam pembahasan RUU tersebut.

Peran Media
Tak kalah penting, lanjut Anis, adalah peran media massa untuk mengawal revisi UU PPTKLN. Pasalnya, media merupakan salah satu corong yang dapat digunakan bagi pekerja migran untuk menyuarakan aspirasinya. Dengan publikasi media, Anis berharap pihak terkait akan melihat dan memahami apa kebutuhan yang diperlukan pekerja migran, terutama soal perlindungan.

Anis melihat selama ini media hanya menyajikan berbagai kasus yang menimpa pekerja migran, namun jarang mengupas substansi persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu momentum revisi UU PPTKLN bagi Anis sangat penting untuk membangun kerjasama antara pekerja migran dan media. Dengan pemberitaan yang intensif tentang pekerja migran diharapkan mampu mendorong perubahan UU PPTKLN seperti yang didambakan.

Sebagai salah satu upaya mewujudkan hal itu Migrant Care bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan International Catholic Migration Commission (ICMC) menggelar Journalis Award untuk perlindungan buruh migran 2012. Penghargaan itu menurut Anis akan diberikan kepada jurnalis yang karya jurnalistiknya memberi kontribusi terhadap perlindungan pekerja migran.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Divisi Perempuan AJI Indonesia, Alida Bahaweres, mengatakan media berperan besar dalam meliput persoalan yang dihadapi pekerja migran. Sayangnya, masih terdapat media yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik ketika memberitakan pekerja migran yang tertimpa masalah. Akibatnya, pekerja migran yang bersangkutan mendapat tekanan sosial dari masyarakat sekitarnya. Bagi Alida hal itu berdampak buruk bagi pekerja migran. “Ada yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik,” tuturnya.

Misalnya, ada media yang mengungkapkan nama lengkap pekerja migran yang menjadi korban kekerasan seksual. Ketika media mempublikasikannya, masyarakat di lingkungan tempat pekerja migran tinggal akan membacanya dan kemudian muncul ejekan dari warga terhadap pekerja migran yang bersangkutan. Oleh karenanya, lewat perlombaan ini Alida menegaskan penghargaan akan diberikan kepada media yang karya jurnalistiknya memberi kontribusi positif bagi pekerja migran.

Sementara Program Officer ICMC, Jumi Rahayu, mengatakan banyak media yang memberitakan berbagai kasus yang menimpa pekerja migran. Mengingat pemberitaan itu melulu mengangkat soal kasus, maka kurang memberi dampak positif bagi perubahan kebijakan pemerintah terkait pekerja migran. Oleh karenanya, penghargaan itu, Jumi melanjutkan, akan diberikan kepada media (jurnalis) yang karyanya dapat mendorong pemerintah untuk menerbitkan kebijakan yang memberi perlindungan kepada pekerja migran.

Selain itu Jumi menjelaskan, pemerintah Uni Eropa mendukung terselenggaranya perlombaan dan penghargaan bagi media yang serius mengangkat persoalan pekerja migran. “Ada bantuan dari Uni Eropa,” pungkasnya.

Tags: