Pemerintah Butuh Lawyer Handal Untuk Bernegosiasi
Utama

Pemerintah Butuh Lawyer Handal Untuk Bernegosiasi

Kadin menilai lawyer yang menjadi negosiator Indonesia saat ini hanya terkesan manggut dan ‘nrimo’.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan, Natsir Mansyur (kiri). Foto: Sgp
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan, Natsir Mansyur (kiri). Foto: Sgp

Pemerintah perlu memiliki lawyer yang handal untuk bernegosiasi, baik dalam hal kerjasama dengan pihak dalam negeri, antar negara, maupun dengan World Trade Organization (WTO). Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai, lawyer yang disiapkan pemerintah saat ini kurang lihai dalam melakukan negosiasi.

“Perlu lawyer-lawyer negosiator walaupun dibayar mahal karena selama ini negosiator kebanyakan hanya mengangguk-angguk saja,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan, Natsir Mansyur, dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Evaluasi dan Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi FTA-CEPA”, di Jakarta, Jumat (31/8).

Menurut Natsir, persoalan negosiator merupakan kendala yang sangat vital bagi Indonesia dalam upaya menegosiasikan perjanjian-perjanjian, baik di dalam negeri maupun dengan pihak asing. Oleh sebab itu, diharapkan agar tiap kementerian mendapatkan anggaran guna membayar lawyer handal sebagai negosiator. Sejauh ini, jelasnya, negosiator yang disediakan oleh negara berasal dari aparat pemerintah.

Keberadaan lawyer dalam negosiator bertujuan untuk mempertimbangkan semua keputusan yang diambil dalam sebuah negosiasi. Ia mencontohkan salah satu negosiasi Indonesia dengan WTO yang sedang berlangsung terkait subsidi untuk nelayan. Dalam negosiasi yang masih berada di dalam tahap awal ini, WTO menyebut bahwa subsidi nelayan tidak lagi dibutuhkan. Padahal, kata Natsir, hal itu bertolak belakang dengan kondisi nelayan Indonesia yang masih membutuhkan subsidi dari pemerintah.

“Kita harus melakukan negosiasi yang keputusannya sesuai dengan kondisi negara kita. Soal pemberhentian subsidi nelayan, di negara kita itu belum bisa,” ujarnya.

Sekretaris Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Dyah W. Poedjiwati, berpendapat sama. Ia menilai fungsi lawyer sebagai negosiator merupakan sesuatu yang penting karena memiliki pengetahuan mengenai hukum internasional yang baik, memiliki strategi negosiasi serta memiliki pengalaman sehingga akan sangat membantu proses negosiasi.

“Saya setuju terkait dengan pengadaan lawyer-lawyer sebagai negosiator,” katanya pada acara yang sama.

Hingga saat ini, lanjutnya, negosiator yang dipakai oleh negara merupakan orang-orang pilihan seperti para ahli yang sudah berpengalaman di dalam proses negosiasi serta mantan-mantan duta besar. Kendati demikian, Dyah mengkhawatirkan biaya yang akan dikeluarkan guna membayar jasa-jasa lawyer tersebut.

“Cuma pembayaran jasa lawyer kan mahal. Apalagi kalau kita memakai lawyer internasional,” ujarnya.

Meski khawatir akan ketersediaan biaya, Dyah tetap akan menyampaikan masukan ini kepada pemerintah terutama Kementerian Perindustrian.

Jika dilihat dari pengalaman-pengalaman yang sudah dilakukan oleh negosiator terkait dunia perindustrian dan perdagangan di Indonesia baik dalam negeri maupun luar  negeri, Dyah menilai semua hasil negosiasi sudah memperhatikan kepentingan nasional. Hanya saja, dalam praktik dunia usaha masih terjadi beberapa permasalahan. Persoalan terkadang muncul sebagai akibat kurangnya masukan dari dunia usaha.

Perlu biro khusus
Terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyambut baik rencana yang diungkapkan Kadin. Malah, ia mengusulkan agar setiap Kementerian memiliki biro khusus yang menangani persoalan negosiasi. Ia mengakui beberapa kementerian sudah memiliki pakar-pakar hukum negosiator seperti Kementerian Luar Negeri. Cuma, langkah ini belum diikuti oleh kementerian lainnya.


“Sebaiknya setiap Kementerian memiliki pakar-pakar hukum negosiator,” katanya ketika dihubungi hukumonline.

Sebagai salah satu orang yang berpengalaman sebagai negosiator yang ditunjuk oleh pemerintah, Hikmahanto membenarkan jika perwakilan pemerintah tidak banyak bicara bahkan terkesan diam. Untuk itu, ia menyarankan agar setiap Kementerian melakukan perekrutan khusus untuk memposisikan pakar hukum negosiator di dalam Kementerian. Tentunya, perekrutan ini harus diisi oleh orang-orang yang memiliki keahlian negosiasi.

Selain itu, kementerian diharapkan dapat memberikan intensif kepada pakar hukum negosiator yang bekerja di kementerian sebagai salah satu daya tarik. Pasalnya, beberapa pihak menolak bekerja di kementerian dikarenakan pendapatan yang jauh lebih kecil ketimbang bekerja di Law Firm.

“Coba Kementerian melakukan kerjasama dengan law firm, rekrut dari sana dan bayar mereka sesuai dengan yang mereka dapatkan di law firm. Perekrutan ini sebaiknya dilakukan secara berkala agar tetap berkesinambungan,” pungkasnya.

Tags: