Quo Vadis Pemberantasan Korupsi
Kolom

Quo Vadis Pemberantasan Korupsi

KPK dan lembaga penegak hukum lainnya adalah orang-orang super yang tidak mungkin salah.

Bacaan 2 Menit
Quo Vadis Pemberantasan Korupsi
Hukumonline

Seperti yang kita ketahui akhir-akhir ini, media pemberitaan baik cetak maupun elektronik dipenuhi dengan pemberitaan mengenai kasus korupsi. Korupsi di Indonesia telah menjadi musuh bersama dimana para pelakunya ramai-ramai dihujat dalam berbagai kesempatan. Penghujatan ini dilakukan dari tingkat menteri sampai masyarakat umum. Seolah-olah orang yang diduga sebagai pelaku korupsi apalagi yang proses hukumnya sedang ditangani oleh KPK pasti bersalah dan pantas untuk dihukum seberat-beratnya.

Masih segar di ingatan kita “kicauan” Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana di situs jejaring sosial twitter yang mengatakan bahwa advokat yang membela koruptor dan menerima bayaran dari uang hasil korupsi adalah koruptor. Hal ini sontak menimbulkan kehebohan di kalangan orang-orang yang berprofesi sebagai advokat. Bahkan seperti yang kita ketahui bahwa akhirnya “kicauan” Denny Indrayana tersebut dilaporkan ke polisi oleh salah seorang advokat senior O.C. Kaligis sebagai tindak pidana pencemaran nama baik.

Sebenarnya bagaimana seharusnya kita menanggapi upaya pemberantasan korupsi di negeri kita tercinta ini? Kita semua tentu sepakat bahwa tindak pidana korupsi adalah sebuah kejahatan yang merugikan keuangan negara dan kepentingan masyarakat secara luas dan oleh karenanya dikategorikan sebagai extra ordinary crimes. Hal ini dikarenakan uang negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan demi kesejahteraan rakyat habis dimakan mulut-mulut jahil para koruptor. Kita juga sepakat bahwa tindak pidana korupsi harus diberantas dari negeri ini dan pemberantasannya menjadi tanggung jawab kita bersama.

Namun apakah kita boleh melakukannya secara membabi buta? Mengabaikan hak-hak tersangka, prinsip-prinsip fair trial, due process of law dan asas praduga tidak bersalah?

Kembali pada kisah “kicauan” yang dilakukan oleh Denny Indrayana terkait advokat koruptor, terbesit di pikiran saya bahwa yang dibela oleh para advokat tersebut bukanlah perbuatan korupsi yang diduga dilakukan, melainkan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa koruptor itu sendiri. Hak tersangka atau terdakwa untuk mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan jelas diatur dalam Pasal 54 KUHAP.

Selain itu hak penasihat hukum untuk memperoleh honorarium jelas diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU No. 23 Tentang Advokat. Jadi menurut saya adalah layak dan wajar bagi seorang advokat untuk membela tersangka dan terdakwa korupsi dan memperoleh honorarium atas jasa hukum yang diberikannya. Toh belum tentu juga uang honorarium tersebut berasal dari hasil korupsi.

Apalagi kita lihat bahwa tekanan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi akhir-akhir ini semakin hebat. Bahkan tekanan-tekanan tersebut cenderung akhirnya “menyetir” opini publik dan tidak jarang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh para penegak hukum yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan yang ramai-ramai berusaha mengungkap kasus korupsi. Namun tidak jarang akhirnya mereka berebut perkara korupsi yang berujung pada benturan kepentingan di antara lembaga penegak hukum itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui dari pemberitaan media massa, kasus pengadaan simulator SIM dimana KPK dan Kepolisian saling berebut siapa yang berhak menangani perkara ini, masing-masing berlandaskan argumen hukum yang dipilihnya. Terlihat bahwa masing-masing lembaga penegak hukum ini ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling berkontribusi dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Saya sendiri melihat hal ini sebagai sesuatu yang baik karena masing-masing lembaga akhirnya berusaha dengan kemampuan maksimalnya untuk turut andil dalam pemberantasan korupsi. Namun perlu digarisbawahi bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini harus sesuai dan sejalan dengan koridor-koridor hukum yang ada tidak terkecuali koridor hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Satu kasus yang menarik dalam perkara pemberantasan korupsi di Indonesia adalah kasus traveller cheque DGS BI yang menyeret nama Miranda Goeltom. Saya menyimak dalam surat dakwaannya dan ini sudah ramai dibahas di kalangan profesi hukum bahwa dakwaan ke-3 dan 4 dari penuntut umum KPK telah daluwarsa berdasarkan Pasal 78 ayat (1) butir ke 2 KUHP. Lalu dari pihak penuntut umum KPK mengatakan bahwa dikarenakan asas kemanfaatan maka sebaiknya tidak bersifat legalistik dan mengabaikan pengaturan mengenai daluwarsa yang ada dalam KUHP.

Saya pun penasaran mengikuti perkembangan kasus ini dan akhirnya seperti yang kita ketahui bersama bahwa majelis hakim menolak eksepsi dari penasihat hukum dan memerintahkan untuk melanjutkan pemeriksaan dalam perkara ini. Hal ini tentu membuat saya kaget dan tercengang, bagaimana mungkin kaidah hukum yang sudah jelas-jelas diatur dalam KUHP ditabrak dan diabaikan begitu saja. Apakah karena ini perkara korupsi, lalu terdapat perlakuan khusus dalam menerapkan dan menafsirkan hukum? Atau apakah majelis hakim takut apabila menggugurkan atau membatalkan surat dakwaan penuntut umum KPK maka mereka akan dibilang tidak pro pemberantasan korupsi atau bahkan lebih-lebih takut dituduh ada “main” dalam perkara ini?

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tidak ada satupun perkara korupsi yang diputus bebas atau lepas. Apakah karena KPK terlalu hebat dan pintar sehingga setiap perkara yang dibawanya pastilah dapat mereka buktikan bahwa terdakwanya bersalah? Atau hakim takut terhadap KPK? Saya sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Yang lebih saya khawatirkan lagi adalah pemberitaan di media massa dan opini yang berkembang di masyarakat. Media massa memberitakan kasus korupsi terutama orang-orang yang terlibat di dalamnya seolah-olah mereka sudah pasti adalah koruptor padahal statusnya masih tersangka atau terdakwa. Sungguh pembunuhan karakter yang sangat hebat sekali. Kemana perginya asas praduga tak bersalah? 

Bayangkan apabila ada seorang pegawai negeri yang seumur hidupnya jujur mengabdi kepada negara tetapi ternyata tersangkut perkara korupsi, walaupun akhirnya dia diputus bebas dan tidak bersalah namun media massa dan masyarakat sudah terlanjur mencapnya sebagai koruptor. Saya rasa itulah ketidakadilan yang paling menyakitkan. Sia-sia sudah pengabdian si pegawai negeri selama ini karena stigma dan opini masyarakat yang sudah terlanjur melekat pada dirinya.

Di tulisan saya yang singkat ini saya ingin menegaskan bahwa kita harus jernih dalam melihat pemberantasan korupsi di Indonesia. Kita tidak boleh menganggap KPK dan lembaga penegak hukum lainnya adalah orang-orang super yang tidak mungkin salah. Kita perlu untuk mengkritisi lembaga-lembaga ini agar mereka tidak menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya (abuse of power).

Yang paling penting kita tidak boleh langsung mencap seseorang sebagai koruptor sebelum dia memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan dia bersalah (asas praduga tak bersalah). Akhir kata saya ingin mengucapkan, there is no justice without due process of law!

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Peserta Lomba Esai Hukumonline 2012 

Tags: