MK: Pembagian DBH Migas Konstitusional
Berita

MK: Pembagian DBH Migas Konstitusional

Akil berpendapat kebijakan pengaturan perimbangan bagi hasil itu telah menciptakan ketidakadilan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Majelis MK menolak permohonan pengujian Pasal No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Foto: ilustrasi (Sgp)
Majelis MK menolak permohonan pengujian Pasal No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Foto: ilustrasi (Sgp)

Majelis Mahkamah Konstiusi (MK) menolak permohonan pengujian Pasal Pasal 14 huruf e dan f UU No. 33 Tahun 204 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Mahkamah menyatakan pasal yang mengatur prosentase pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi antara pemerintan pusat dan daerah dianggap selaras dengan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.

“Menolak permohonan pemohon I-V untuk seluruhnya, permohonan pemohon VI-IX tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusan pengujian UU itu di Gedung MK, Rabu (12/9).

Mahkamah menilai besaran prosentase dalam Pasal 14 huruf e dan f UU No. 33 Tahun 2004 adil dan selaras yang diinginkan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945. Besaran prosentase itu tidaklah dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang untuk berlaku tidak adil kepada daerah penghasil. Akan tetapi, hal itu harus dilihat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia dikuasai negara.

“Itu dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan merata yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan hukumnya.   

Karenanya, MK berpendapat frasa “84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah” dalam Pasal 14 huruf e dan frasa “69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah” dalam Pasal 14 huruf f tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK menilai besaran itu merupakan bagian dari kewajiban pemerintah pusat untuk menciptakan pemerataan.

“Besaran persentase itu harus dipahami oleh tidak sepenuhnya menjadi bagian dari pemerintah daerah semata-mata, karena pemerintah pusat sebagai representasi negara berkewajiban untuk membagikannya kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), serta mekanisme lainnya dalam rangka keadilan dan pemerataan bagi segenap bangsa Indonesia,” tutur Anwar.

Namun, putusan ini tidak diambil dengan suara bulat, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Menurutnya, kebijakan pengaturan perimbangan bagi hasil dalam pasal tersebut telah menciptakan ketidakadilan dengan mencitrakan pemerintah pusat berkedudukan lebih tinggi dibanding pemerintah daerah.

Tags: