Dari ‘Peristiwa Konkret’ ke ‘Peristiwa Hukum’
Bahasa Hukum:

Dari ‘Peristiwa Konkret’ ke ‘Peristiwa Hukum’

Dalam proses penemuan hukum, hakim harus bisa menarik garis antara peristiwa konkret dengan peristiwa hukum.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Busyro Muqoddas. Foto: Sgp
Busyro Muqoddas. Foto: Sgp

Saat masih menjadi Ketua Komisi Yudisial (KY), Busyro Muqoddas acapkali mengajukan satu pertanyaan kepada para calon hakim agung yang tengah mengikuti seleksi. ‘Apa perbedaan peristiwa konkret dan peristiwa hukum? Dalam versi lain, pertanyaannya berubah menjadi, ‘lebih duluan mana peristiwa hukum atau peristiwa konkrit?’

Faktanya, banyak kandidat hakim agung yang tak bisa langsung menjawab pertanyaan Busyro. Istilah ‘peristiwa konkret’ dan peristiwa ‘hukum’ memang tak ditemukan dalam kamus-kamus hukum karya Prof. Subekti dan R. Tjitrosoebeno (1969), JCT Simorangkir dkk (2000). Kamus Hukum karya BN Marbun (2006) hanya menyebut istilah ‘peristiwa’. Kamus Hukum karya Padmo Wahyono malah menyebut frasa ‘peristiwa G.30.S/PKI’. Bahkan kamus hukum terbaru karya Rocky Marbun dkk (2012) juga tak mencantumkan definisi peristiwa konkret dan peristiwa hukum.

Kedua istilah itu biasanya ditemukan dalam literatur yang membahas penemuan hukum oleh hakim. Seorang hakim mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum (judge made law), terutama untuk kasus-kasus yang belum ada hukumnya.

Sebaliknya, hakim juga berwenang menyimpangi ketentuan hukum tertulis yang sudah usang atau yang tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat. Cara terakhir ini disebut contra legem (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2004).

Salah satu literatur yang banyak membahas peristiwa konkret dan peristiwa hukum adalah ‘Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar’ karya Sudikno Mertokusumo. Karya bersamanya dengan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (1993), juga menyinggung masalah ini pada beberapa bagian.

Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada itu, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein).

Peristiwa konkret perlu dicarikan hukumnya yang bersifat umum dan abstrak. Peristiwa konkret harus dipertemukan dengan peraturan hukum. Peristiwa konkret harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya, peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkretnya agar dapat diterapkan. (Sudikno, 2006: 80)

Dengan kata lain, peristiwa konkret itu masih harus dicari kebenarannya. Tetapi hanya peristiwa konkret yang relevan saja yang harus dibuktikan. Di sini hakim sudah mulai menyentuh atau berhubungan dengan hukumnya. Dasar untuk menetapkan apakah suatu peristiwa konkret relevan bagi hukum atau tidak, adalah pengetahuan tentang peraturan hukumnya. Hukum harus tahu hukum, ius curia novit. (Sudikno, 2006: 81-82)

Setelah peristiwa konkret dikonstatasi atau dinyatakan terbukti, maka peristiwa konkret itu harus dicarikan peraturan hukumnya. Peristiwa konkret yang telah terbukti harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum. Jadi, apa yang dilakukan hakim di persidangan adalah mengkonstatasi peristiwa konkret. Lalu, majelis hakim merumuskan dan mengkualifikasi peristiwa konkret itu, dan itu berarti hakim menetapkan peristiwa hukum.

Jadi peristiwa konkret harus dijadikan peristiwa hukum lebih dahulu sebelum peraturan hukumnya dapat diterapkan, karena peraturan hukum hanya bisa diterapkan terhadap peristiwa hukum, bukan peristiwa konkret.

Namun patut dicatat bahwa penemuan hukum yang dilakukan hakim bukan semata-mata penerapan hukum terhadap peristiwa konkret. Menurut Prof. Sudikno (1993: 9), penemuan hukum juga sekaligus penciptaan dan pembentukan hukum.

Referensi

  • Ahmad Kamil dan M. Fauzan. Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media, 2004.
  • Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006.
  • Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, 1993.
Tags: