MK Rombak Aturan Piutang BUMN
Berita

MK Rombak Aturan Piutang BUMN

Dengan adanya putusan MK ini semua debitur bank BUMN akan mendapatkan perlakuan yang adil.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Majelis MK rombak aturan piutang BUMN. Foto: Sgp
Majelis MK rombak aturan piutang BUMN. Foto: Sgp

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Mahkamah membatalkan frasa “badan-badan negara“ dalam pasal-pasal itu. Artinya, secara tersirat MK menyatakan piutang badan usaha yang dikuasai negara (bank BUMN, red) tidak perlu menyerahkan piutang (tagihan) kepada PUPN lagi.  

“Frasa ‘atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara’ dalam Pasal 8 UU PUPN bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,kata Ketua Majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya di Gedung MK, Selasa (25/9). 

Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menuturkan terdapat dua jenis piutang negara sesuai UU PUPN yaitu piutang negara dan piutang badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Dalam hal ini, termasuk piutang bank-bank BUMN yang langsung atau tidak langsung dikuasai negara.

“Dalam pengertian ini, piutang-piutang bank BUMN yang ada dan jumlahnya telah pasti dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan melakukan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Di sisi lain, kenyataannya debitur pada Bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen bank yang bersangkutan,” tutur Akil.  

Mengacu Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, piutang negara hanyalah tagihan sejumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Jadi, tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN.

“Hal ini sejalan dengan pendapat ahli pemerintah, Mariam Darus yang berpendapat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2004 telah terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yang intinya piutang badan atau BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Menurut ahli lainnya, Darminto Hartono piutang BUMN yang dalam hal ini BNI adalah piutang perseroan terbatas, sehingga mekanisme penyelesaian dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk hair cut, konversi, maupun rescheduling,” tutur Akil.

Menurut Mahkamah penyelesaian piutang Bank BUMN masih terdapat dua aturan yang berlaku yakni UU PUPN dan UU Perbendaharaan Negara jo UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. “Ini menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur bank BUMN dan bank swasta, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”

Karena itu, piutang bank BUMN setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 2004, UU BUMN, dan  serta UU Perseroan Terbatas bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat.

“Menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b PP No. 36 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP No 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah tidak sejalan dengan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT. Dengan demikian, piutang negara yang berkaitan dengan piutang badan-badan usaha baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara dalam UU No. 49 Tahun 1960 adalah beralasan menurut hukum.”

Kuasa hukum pemohon, Gradios Nyoman Tio Rae menyambut baik putusan MK ini. Dengan adanya putusan MK ini semua debitur bank BUMN akan mendapatkan perlakuan yang adil. “Kami mengucapkan selamat terhadap debitur-debitur bank BUMN atas dikabulkannya sebagian permohonan kami. Putusan ini memberi arahan kepada bank BUMN untuk melaksanakan tugasnya secara profesiomal berdasarkan RUPS,” kata Nyoman.

Ia sendiri mencatat sejak tahun 2010 hingga 2012 kredit macet mencapai sekitar Rp60 triliun. “Khusus kredit macet di BNI sekitar Rp25 triliun, sisanya ada pada beberapa bank lain. Kalau 50 persen saja dari Rp25 triliun yang mampu dibayar oleh debitur, sangat berarti bagi BNI untuk kelanjutannya,” katanya.  

Permohonan ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai berlakunya pasal-pasal itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Sebab, sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah, red) masih belum bisa melakukan pemotongan utang (hair cut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN. Jika pemotongan hutang dilakukan berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.

Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Tags: