IHCS Banding Atas Putusan Gugatan KK Freeport
Berita

IHCS Banding Atas Putusan Gugatan KK Freeport

Putusan pengadilan tingkat pertama dinilai keliru karena tidak konsisten dengan putusan sela.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
IHCS Banding Atas Putusan Gugatan KK Freeport
Hukumonline

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutus gugatan Indonesian Human Right Comitte for Social Justice (IHCS) terhadap Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Company tidak dapat diterima. Majelis hakim menganggap IHCS tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan.

IHCS mengajukan banding pada hari Rabu, 26 September 2012. Ketua IHCS Gunawan mengatakan memori banding sedang dirumuskan untuk selanjutnya diserahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Nomor registernya tetap sama dengan nomor perkara yang lalu, nanti akan diserahkan memori bandingnya,” katanya, Kamis (27/9).

Secara umum, dalam memori banding, IHCS akan mempermasalahkan putusan majelis hakim tingkat pertama yang keliru dan tidak konsisten dengan putusan sela. Menurut Gunawan, dalam putusan sela, majelis telah menyatakan IHCS memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan terhadap kontrak karya Freeport.

Selain itu, majelis juga telah menjelaskan bahwa gugatan organisasi IHCS adalah terkait pihak ketiga yang merasa dirugikan atas berlakunya kontrak karya Freeport. Oleh karenanya, Gunawan menyatakan, dalam memori bandingnya IHCS akan menjelaskan bahwa hak gugat organisasi seharusnya sudah menjadi hukum kebiasaan.

“Kami akan jelaskan hak gugat organisasi harusnya sudah menjadi hukum kebiasaan dalam konteks hukum positif kita. Jadi, bukan hanya tergantung UU Konsumen dan Lingkungan Hidup sebagaimana sudah biasa di MK,” ujar Gunawan. Hak gugat organisasi selama ini hanya diatur dalam UU Konsumen dan UU Lingkungan Hidup.

Hal itulah yang menjadi dasar pertimbangan majelis dalam memutus gugatan IHCS, 13 September 2012 lalu. Namun, Juru Bicara Freeport Ramdani Sirait yang dihubungi untuk dimintai tanggapan soal pengajuan banding IHCS, tidak menjawab teleponnya. Pesan singkat yang dikirimkan hukumonline juga tidak mendapat tanggapan.

Meski demikian, Ramdani sebelumnya telah menegaskan Freeport tetap mendiskusikan kontrak karya dan rencana kerja perusahaan ke PemerintahIndonesia. “Dari awal Freeport telah menyampaikan kesediaan untuk duduk bersama pemerintah mendiskusi rencana kerja perusahaan dan kontrak karya,” tuturnya.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang dipimpin Suko Harsono menyatakan IHCS merupakan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM). Sementara, penggugat menggunakan mekanisme gugatan legal standing yang notabene muaranya untuk membela masyarakat luas.

Akan tetapi, materi atau pokok gugatan IHCS ternyata menyangkut kontrak karya yang dibuat antara PT Freeport Indonesia Company dengan Pemerintah Republik Indonesia. Kontrak karya yang dibuat Freeport dengan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri ESDM, berada di ranah perdata dan tidak ada sangkut pautnya dengan HAM.

Maka dari itu, majelis hakim berpendapat IHCS tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan terkait kontrak karya. Jika Pemerintah memang merasa dirugikan KK dengan Freeport, majelis hakim menjelaskan, lembaga yang berwenang untuk menyatakan kerugian negara adalah BPK.

Dari hasil penghitungan BPK, DPR selaku lembaga berwenang, dapat mempertimbangkan untuk memutus atau tidak memutus kontrak karya. Dengan demikian, majelis menolak eksepsi DPR sebagai turut tergugat karena DPR tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab secara keperdataan.

Majelis juga menolak legal standing penggugat karena IHCS bukanlah organisasi lingkungan hidup atau konsumen yang memiliki hak gugat sesuai UU Lingkungan Hidup dan UU Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, majelis hakim menyatakan pokok perkara gugatan IHCS tidak dapat diterima.

IHCS mendaftarkan gugatan terhadap Menteri ESDM, Freeport, Presiden, dan DPR pada akhir Juli 2011. Perpanjangan Kontrak karya Freeport tanggal 30 Desember 1991, memuat kesepakat untuk membayar royaliti emas sebesar satu persen. Berdasarkan PP No.45 Tahun 2003, tarif royalti emas adalah sebesar 3,75 persen dari harga jual tonase.

Besaran satu persen itu tidak lagi sesuai dengan peraturan yang berlaku. IHCS menilai kontrak karya Freeport sudah tidak lagi memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kontrak karya jelas bertentangan dengan PP No.45 Tahun 2003, sehingga dapat mengakibatkan batal demi hukum.

Freeport dinilai tidak pernah membayar royalti emas. Selama 25 tahun, Freeport hanya membayar royalti tembaga kepada pemerintah Indonesia. Merujuk kontrak karya pertama tahun 1967, Freeport hanya melaporkan penambangan tembaga. Padahal, terhitung sejak 1978, Freeport juga mengekspor emas. Apabila diakumulasikan, IHCS menaksir kerugian negara sudah mencapai AS$256,17 juta. IHCS meminta para tergugat secara tanggung renteng membayarkannya ke kas negara.

Tags: