Awas! Ada Resiko Hukum Bagi Penerima Dana Bankum
Utama

Awas! Ada Resiko Hukum Bagi Penerima Dana Bankum

Jika selama ini mengawasi pemerintah, kini lembaga penerima bantuan hukum yang akan diawasi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pos Bantuan Hukum PN Bandung. Foto: ilustrasi (Sgp)
Pos Bantuan Hukum PN Bandung. Foto: ilustrasi (Sgp)

Dana bantuan hukum yang dipersiapkan pemerintah sesuai UU No. 16 Tahun 2011 adalah uang APBN. Karena itu, penggunaan dan pertanggungjawabannya sesuai dengan mekanisme keuangan negara pada umumnya. Siapapun yang ikut menggunakan dana itu harus siap diaudit dan bertanggung jawab. Jika ada penyimpangan, sangat mungkin pelaku dijerat tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain.

Resiko hukum itu harus benar-benar ditimbang lembaga yang kelak menerima dana bantuan hukum – disebut Pemberi Bantuan Hukum. Dalam konsepsi UU No. 16 Tahun 2011, Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Lembaga ini nanti akan diverifikasi dan diakreditasi.

Selama ini layanan bantuan hukum probono itu banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta seperti LBH di bawah payung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di bidang pers oleh LBH Pers, LBH Kesehatan, LBH Pendidikan, dan lembaga sejenis. Lembaga-lembaga inilah kelak yang menjadi Pemberi Bantuan Hukum.

Dalam diskusi bulanan yang berlangsung di Kementerian Hukum dan HAM, Kamis (27/9) kemarin, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengingatkan bahwa lembaga pemberi bantuan hukum harus siap diaudit, sebagaimana layaknya audit terhadap lembaga penerima dana APBN lainnya. Mereka akan tunduk pada UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara.

Menurut Denny, bukan mustahil terjadi penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dana bantuan hukum oleh lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan. Prinsipnya, kata Guru Besar Ilmu Hukum UGM Yogyakarta itu, siapapun yang menggunakan dana APBN harus siap mengikuti mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara. Penyimpangan bisa saja terjadi, namun harus dihindari. “Harus kita hindari hal-hal semacam itu,” ujarnya.

Ketua Badan Pengurus YLBHI, Alvon Kurnia Palma, mengatakan kalangan LBH memang harus mengembangkan kapasitas mereka jika ingin mendapatkan dana bantuan hukum dan bisa mempertanggungjawabkannya menurut mekanisme tanggung jawab keuangan negara. Audit pun bukan sesuatu yang baru bagi sejumlah lembaga swadaya masyarakat, termasuk YLBHI, karena selama ini selalu ada mekanisme audit atas pengelolaan keuangan lembaga.

Menurut Alvon, lembaga Pemberi Bantuan Hukum harus siap menghadapi resiko hukum akibat (jika terjadi) penyimpangan dana bantuan hukum. Lembaga harus siap transparan. Ini adalah konsekuensi dari alokasi dana APBN untuk bantuan hukum yang kemudian dialurkan lewat lembaga bantuan hukum. “Ketika negara sudah bertanggung jawab menyediakan dana bantuan hukum, mau tidak mau, Pemberi Bantuan Hukum juga harus bisa mempertanggungjawabkannya,” kata Alvon.

Mantan Sekretaris Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi, Alexander Lay, sepakat dengan Alvon. Lembaga Pemberi Bantuan Hukum harus siap menjalankan amanat UU Bantuan Hukum. Termasuk menghadapi resiko yang mungkin timbul jika terjadi penyimpangan, seperti diperiksa polisi atau jaksa.  “Siap tidak siap, ya harus siap,” ujarnya.

Alexander Lay dan Alvon berharap Pemerintah menyampaikan secara detil mekanisme ini ke lembaga-lembaga Pemberi Bantuan Hukum. Pemahaman tentang mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara perlu ditanamkan kepada para aktivis bantuan hukum agar penyimpangan bisa dicegah sejak awal. “Harus dijelaskan mekanismenya,” kata Alex.

Tags: