Nasabah Bank Persoalkan UU Perbankan Syariah
Berita

Nasabah Bank Persoalkan UU Perbankan Syariah

Majelis Panel menilai struktur permohonan belum memenuhi standar permohonan yang berlaku di MK

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Sidang permohonan pengujian Pasal 55 ayat (2), (3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Foto: Sgp
Sidang permohonan pengujian Pasal 55 ayat (2), (3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Foto: Sgp

Seorang nasabah Bank Muamalat, Dadang Achmad mengajukan permohonan pengujian Pasal 55 ayat (2), (3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ia menilai pasal yang mengatur pilihan penyelesaian sengketa itu membingungkan dan saling bertentangan satu sama lain (kontradiktif) yang merugikan pemohon. 

“Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan Syariah terjadi kontradiktif, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pemohon, seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata kuasa hukum pemohon, Rudi Hernawan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Muhammad Alim di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (5/10).

Pasal 55 UU menyebutkan : (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Ditegaskan Rudi, Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)-nya dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam praktik perbankan syariah harus merupakan kewenangan pengadilan agama. Sementara dalam ayat (2)-nya membuka ruang para pihak yang terikat akad untuk memilih peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik perbankan syariah.

“Itu sangat jelas sekali, Pasal 55 ayat (2) tidak ada kepastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Menurut Rudi, ketentuan Pasal 55 ayat (3) UU Perbankan Syariah tidak perlu ada apabila tidak ada ayat (2)-nya. Karena itu, agar mencerminkan adanya kepastian hukum, maka seharusnya Pasal 55 ayat (2) harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pemohon mengalami kredit macet di Bank Muamalat Cabang Bogor melalui akad pembiayaan sebagaiman tertuang dalam Akta Notaris No. 34 tertanggal 09 Juli 2009, lalu diperbaharui Akta Notaris No. 14 tertanggal 8 Maret 2010. Dalam akad itu, disebutkan jika terjadi sengketa mereka telah sepakat untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul di Pengadilan Negeri Bogor.   

“Apakah dipilihnya peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah belum memenuhi prinsip-prinsip syariah seperti diamanatkan Pasal 55 ayat (3),” kata Rudi.           

Menanggapi permohonan, Anggota Panel Hakim, Ahmad Fadli Sumadi menilai struktur  permohonan belum memenuhi standar permohonan berlaku di MK. “Identitas pemohon harus jelas dan kuasa hukumya siapa? Bagian kewenangan MK perlu diuraikan, apakah MK berwenang atau tidak mengadili permohonan ini? Judul besarnya dalam permohonan Kewenangan Mahkamah,” kritiknya.     

Selain itu, perlu dibuat bagian legal standing (kapasitas menggugat) dalam permohonan untuk menentukan apakah pemohon memiliki kapasitas untuk mengajukan permohonan ini. “Ini dalam permohonan ‘remang-remang’ (tidak jelas, red), legal standing ini harus diuraikan dalam permohonan,” sarannya.

Fadlil juga menilai pokok permohonan ini belum begitu jelas karena belum menggambarkan pertentangan norma. “Permohonan Anda belum belum menggambarkan bentuk pertentangannya. Ini harus diuraikan! Tetapi kalau petitum (tuntutan[, red) sudah betul,” katanya.              

Anggota panel lainnya, Harjono meminta pemohon mengubah dan memperbaiki struktur permohonan sesuai standar yang berlaku di MK. “Saudara bisa lihat contoh-contoh permohonan di Kepaniteraan MK, perbaikannya maksimal 14 hari,” kata Harjono.

Tags: