KUHP dan KUHAP Belum Ikuti Paradigma Konstitusi
Berita

KUHP dan KUHAP Belum Ikuti Paradigma Konstitusi

RUU KUHAP bisa menjadi pintu masuk pembahasan revisi UU KPK.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Artidjo Alkostar, Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana. Foto: Sgp
Artidjo Alkostar, Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana. Foto: Sgp

Berbagai persoalan hukum yang timbul belakangan, terutama banyaknya masyarakat kecil yang dihukum, tak lepas dari kesenjangan ideologi hukum. Kesenjangan ideologi hukum dalam perangkat hukum nasional telah menimbulkan berbagai fenomena ketidakadilan hukum dan kesenjangan sosial.

Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana, Artidjo Alkostar, berpendapat tersumbatnya arus keadilan sebagai kebutuhan pokok rohaniah bagi masyarakat kecil banyak diakibatkan paradigma KUHP dan KUHAP yang belum berubah. Kedua kitab hukum itu telah dipergunakan aparatur secara kaku tanpa merujuk pada perubahan paradigma yang terjadi pada level kosmos, dalam hal ini konstitusi.

“Meskipun telah ada perubahan dalam ranah konstitusi, yaitu dijaminnya hak asasi warga negara dalam hubungan dengan penegakan hukum, paradigma KUHP dan KUHAP belum berubah,” ujarnya saat tampil sebagai pembicara dalam Konperensi Negara Hukum di Jakarta, Rabu (10/10) kemarin.

Nilai-nilai dasar hak asasi manusia, substansi hukum dan asas persamaan di hadapan hukum dalam konsep UUD 1945 pasca amandemen dinilai Artidjo belum sepenuhnya ditransformasikan ke ranah penegakan hukum. Sehingga ideologi hukum yang termuat dalam KUHP dan KUHAP mengandung beberapa kendala untuk pencapaian keadilan.

Artidjo memberi contoh KUHP dan KUHAP yang belum sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip restorative justice, plea bargaining, crown witness, dan penyelesaian perkara kecil melalui prosedur informal, atau mediasi penal. Akibatnya, yang menjadi korban adalah masyarakat yang lemah secara ekonomi dan politik. “Kelompok masyarakat yang rentan secara politik dan lemah secara ekonomi menjadi sulit memperoleh keadilan,” lanjut mantan Direktur LBH Yogyakarta itu.

Mahkamah Agung memang berusaha mengurangi hambatan ideologis yang timbul akibat penerapan secara kaku KUHP dan KUHAP. Misalnya, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 tentang Batasan Denda Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Keinginan untuk mengubah KUHP dan KUHAP sebenarnya sudah lama muncul. Bahkan RUU KUHP dan RUU KUHAP sudah berkali-kali masuk ke Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), termasuk Prolegnas 2012. Namun hingga kini kedua RUU itu belum pernah dibahas.

Padahal, di mata M. Nurdin, anggota Komisi III DPR, pembahasan KUHAP, misalnya,  jauh lebih penting dibanding revisi UU KPK. Menurut politisi PDI Perjuangan ini, pembahasan KUHAP dan KUHP bisa menjadi pintu masuk untuk revisi peraturan perundang-undangan lain seperti UU KPK, UU Kejaksaan, dan UU Kepolisian. “Seharusnya KUHAP dibahas lebih dahulu,” ujarnya di Senayan, Jum’at (05/10).

Masih dari acara Konperensi Negara Hukum, Guru Besar Emeritus FH Universitas Airlangga Surabaya, Soetandyo Wignjosoebroto, mengatakan pengabaian terhadap undang-undang seringkali terjadi karena anggapan bahwa undang-undang tersebut tidak sesuai kepatutan. Pengabaian juga terjadi jika materi undang-undang dipandang kurang berpihak pada kepentingan warga masyarakat dalam jumlah signifikan.

Tags: