Pengakuan Masyarakat Hukum Adat: “Kemana mau melangkah ?”
Oleh: Nurul Firmansyah *)
Kolom

Pengakuan Masyarakat Hukum Adat: “Kemana mau melangkah ?”
Oleh: Nurul Firmansyah *)

RUU Desa dan RUU PPMA sebaiknya digabung dalam rangka mendorong pengakuan masyarakat hukum adat.

Bacaan 2 Menit
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat: “Kemana mau melangkah ?” <br>Oleh: Nurul Firmansyah *)
Hukumonline

DPR RI sedang menggodok dua rancangan undang-undang terkait kepentingan hukum masyarakat hukum adat, yaitu RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (kemudian disebut RUU PPMA). Dua RUU tersebut sama-sama menggunakan Pasal 18 B UUD 1945 sebagai perwujudan pengakuan masyarakat hukum adat yang bersifat khusus dan istimewa.

Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menelaah posisi masyarakat hukum adat dalam hukum nasional sebagai subjek hukum dan menghubungkannya dengan inisiatif RUU Desa dan RUU PPMA yang sedang berlangsung di DPR RI saat ini. Dengan pengakuan tersebut, harapannya memperkuat pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang signifikan terhadap penguatan hak-haknya, termasuk hak penguasaan atas wilayah (hak ulayat) di depan hukum nasional.

Masyarakat Hukum Adat : Antara Konsep dan Realita
Pengertian mendalam tentang masyarakat hukum adat perlu dihayati pada dua faktor, yaitu: teritorial dan genealogis yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan hidup masyarakat hukum adat (Syahmunir, 2005:6). Contoh masyarakat hukum adat yang terikat pokok secara territorial (Dorpsgemeenschap) adalah desa di Jawa dan masyarakat hukum adat yang terikat secara genealogis sekaligus territorial adalah Nagari di Minangkabau (Sumatera Barat). Khususnya Nagari  terbentuk dari tatanan masyarakat berdasarkan garis keturunan genealogis matrilineal. Tatanan tersebut dimulai dari paruik yang merupakan keluarga luas yang terdiri dari beberapa keluarga inti, pengembangan paruik-paruik yang menjadi kaum dan gabungan dari kaum-kaum akan menjadi suku (Kurniawarman, 2012: 41). Suku merupakan ikatan pertalian darah (genealogis) yang tidak mesti terikat, dan dibatasi oleh teritorial. Himpunan beberapa suku akan membentuk satu Nagari dalam bentuk satuan organisasi pemukinan (territorial), (Kurniawarman, 2012:42).

Selanjutnya, masyarakat hukum adat tidak sepenuhnya otonom setelah bersinggungan dengan negara. Reduksi otonomi masyarakat hukum adat tersebut oleh Kurniawarman dinyatakan sebagai kondisi “Semi-autonomous of social field” yang merujuk pada teori Moore dalam Perspektif hukum dan Perubahan Sosial (Law and Social Change), (Kurniawarman, 2007:4). Hal tersebut adalah konsekuensi dari upaya membangun negara bangsa Indonesia. Akibatnya, terjadi peleburan yang mengakibatkan berkurangnya otonomi masyarakat hukum adat, baik yang terikat pokok secara territorial seperti di Jawa, terikat secara genelogis dan terikat secara genelogis-territorial seperti di Nagari.

Namun persoalannya adalah, seberapa besar dampak peleburan tersebut identitas masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang bersifat khusus dan istemewa tersebut? Pertanyaan tersebut kemudian beriringan dengan maraknya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat oleh negara, terutama hak ulayat. Hukum Negara yang diciptakan melahirkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat, seperti hilangnya tanah-tanah ulayat dalam kawasan hutan akibat UU Kehutanan, perampasan tanah ulayat melalui HGU dan lain-lain.

Berbagai persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan lemahnya pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang mempunyai hak-hak khusus dan istimewa. Oleh sebab itu, artikel ini mencoba menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Masyarakat Hukum Adat sebagai Subjek Hukum
Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adalah badan hukum yang bersifat “Gemeenschaap” yaitu persekutuan hukum yang terbentuk secara alamiah karena perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi dan politik—bukan “verenigingen” yang terbentuk dengan sengaja untuk kepentingan-kepentingan ekonomi an sich anggota-anggotanya. Sebagai Badan Hukum, Masyarakat hukum adat mempunyai hak-hak (kewenangan) yang bersifat publik.

Pengakuan hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik terkait dengan Pasal 18 UUD 1945. Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, jelas bahwa susunan asli masyarakat hukum adat dalam bentuk desa, Nagari atau nama lain mempunyai kewenangan publik berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, termasuk kewenangannya terhadap wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. 

Namun, sejak Perubahan Pasal 18 UUD 1945 berakibat pada kaburnya posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik dalam penyelenggaran negara yang mempunyai hak asal usul terutama terkait atas kepastian wilayahnya, karena: (1) hanya mengenal pembagian wilayah negara dalam daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi di bagi dalam daerah-daerah kabupaten dalam asas otonomi daerah dan (2) tidak mengenal lagi wilayah susunan asli masyarakat hukum adat yang mempunyai hak asal usul (Saldi Isra, 2012:13). Artinya, perubahan Pasal 18 berakibat pada pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, namun tidak dengan wilayahnya, dan pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat melalui rezim hukum pemerintah daerah.

Inisitaif RUU Desa dan RUU PPMA
RUU Desa dan RUU PPMA mempunyai pengaruh besar terhadap pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, terutama sebagai subjek hukum. RUU Desa mempunyai peran penting integrasi hak-hak publik masyarakat hukum adat sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan negara. RUU Desa semestinya tidak dikonstruksi sebagai bagian penyelenggaran negara yang bersifat administratif an sich, namun semestinya sebagai bentuk pengakuan susunan asli seperti desa, Nagari, marga dan nama-nama lainnya (kemudian disebut desa asal usul) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.

Selanjutnya, Bagaimana hubungannya dengan RUU PPMA? Menurut penulis, RUU PPMA dirancang dengan semangat pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Hal tersebut sebenarnya mempunyai persamaan semangat dengan RUU Desa yang juga mencoba mendeklarasikan pengakuan tersebut. Perbedaannya terletak pada RUU Desa merekonstruksi kesatuan masyarakat hukum adat dalam bentuk desa asal usul dalam penyelengaaraan negara yang mempunyai hak khusus dan bersifat istimewa terhadap wilayahnya, sedangkan RUU PPMA merekonstruksi masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang bersifat khusus dan istimewa.

Artinya RUU Desa lebih jelas menukik pada problem pengakuan wilayah masyarakat hukum adat yang kabur akibat perubahan Pasal 18 UUD 1945. Oleh sebab itu, sangat relevan masyarakat hukum adat semestinya menolak pengaturan BAB II tentang Penataan Desa dalam RUU Desa, karena norma-norma tersebut mengatur tentang Pembentukan Desa, Penghapusan Desa, Penggabungan Desa, Perubahan Status Desa yang tidak perlu diterapkan, karena; Nagari, marga dan atau desa asal usul lainnya sudah hidup tanpa pembentukan oleh negara.  

Selanjutnya, dua RUU ini sebenarnya relevan untuk didorong dalam upaya pengakuan masyarakat hukum adat, dan apabila memungkinkan, RUU tersebut digabung saja dalam satu RUU dengan isinya menjelaskan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, mempunyai wilayah, mempunyai hak khusus dan istimewa, dan dalam bentuk sinkronisasi dalam rezim hukum pemerintah daerah.

Dengan hal tersebut di atas, terutama dalam konteks “Babaliak Ka Nagari” di Sumatera Barat; Nagari mempunyai landasan hukum yang kuat untuk kembali pada Nagari yang sebenarnya—bukan hanya bagian dari perpanjangan sistem pemerintahan administratif belaka. Artinya, Nagari bukan lagi sekedar penyebutan unit pemerintahan, namun identitas kesatuan masyarakat hukum adat yang diakui oleh sistem hukum nasional.

*Direktur Perkumpulan Qbar, Padang

Tags: