Pemberi Bantuan Hukum Bukan Monopoli Advokat
Berita

Pemberi Bantuan Hukum Bukan Monopoli Advokat

Merujuk pada putusan MK, perwakilan DPR menuding pemohon melanggar HAM.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Sidang pleno pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum di Gedung MK. Foto: Sgp
Sidang pleno pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum di Gedung MK. Foto: Sgp

DPR berpendapat argumentasi pemohon bahwa pemberi bantuan hukum hanya dapat diberikan oleh advokat yang didasarkan pada Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah tidak tepat. Argumentasi itu bertentangan dengan putusan MK No. 006/PUU-II/2004 yang melarang pihak lain di luar advokat mewakili pihak yang berperkara di pengadilan.

“Ini sesuai kondisi riil masyarakat saat ini dimana penyebaran jumlah advokat sangat tidak sebanding/merata dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa bantuan hukum,” kata Anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir dalam sidang pleno pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum di Gedung MK, Selasa (18/10).          

Ia mengutip pertimbangan putusan MK itu yang menyebutkan “…seharusnya UU Advokat tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara. Padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara.. Dalam rangka pemenuhan hak mendapatkan bantuan hukum, keberadaan dan peran lembaga nirlaba semacam LKBH UMM yang mewakili pemohon adalah sangat penting bagi pencari keadilan..

“Justru para pemohonlah yang melanggar HAM yang mendalilkan hanya advokat yang dapat memberi bantuan hukum. Padahal sangat jelas putusan MK itu menegaskan hak memberikan bantuan hukum tidak hanya dapat dilakukan advokat saja. Adanya lembaga LKBH kampus fakultas hukum dianggap penting untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam fungsi pengabdian terhadap masyarakat,” kata Nudirman.    

Menurut dia, UU Bantuan Hukum merupakan aturan yang bersifat lex specialis untuk memberikan bantuan hukum yang tidak hanya terbatas pada advokat, tetapi juga paralegal, dosen/mahasiswa hukum yang ada dalam lembaga bantuan hukum. “Ketentuan PP No. 83 Tahun 2008 tentang Bantuan Hukum sebagai peraturan pelaksana Pasal 22 UU Advokat yang tentu saja ini hanya berlaku khusus bagi advokat,” tegasnya.

Karena itu, negara yang diberi wewenang sebagai penjamin terselenggaranya bantuan hukum kepada orang miskin atau tidak mampu dalam UU Bantuan Hukum harus menetapkan standar bantuan hukum tersendiri bagi profesi selain advokat sebagai pedoman. “Menyatakan pasal-pasal yang diuji tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” papar Nudirman menyimpulkan.

Sementara, pemerintah menyoroti dalil pemohon yang menilai UU Bantuan Hukum mengandung ketidakjelasan dan dualisme pemberian bantuan hukum dengan membenturkan UU Bantuan Hukum dan UU Advokat. “Hal ini bukanlah kewenangan Mahkamah untuk memutuskan,” kata Direktur Litigasi Kemenkumham, Mualimin Abdi.

Menurut Mualimin, UU Bantuan Hukum justru untuk menjamin dan memenuhi hak penerima bantuan hukum yang merupakan orang/kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan. Dalil pemohon adanya dualisme pemberian bantuan hukum tidak terjadi, pemberian bantuan diharapkan terintegrasi dan sinergis antara advokat dan lembaga bantuan hukum dengan adanya pembagian peran dan bukan memperebutkan peran.

“Penetapan standar, pelaporan, akreditasi, dan verifikasi oleh menteri dalam pemberian bantuan hukum diiperlukan dalam pertanggungjawaban penggunaan APBN.”                                  

Untuk diketahui, sejumlah advokat mengajukan permohonan uji materi UU Bantuan Hukum terhadap UUD 1945. Mereka adalah Dominggus Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB Mansyur Abubakar, Malkam Bouw, Paulus Pase, LA Lada, Metiawati, A Yetty Lentari, dan Shinta Marghiyana.

Dominggus dan kawan-kawan mempersoalkan 10 pasal UU Bantuan Hukum yaitu Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9;  Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22.

Menurutnya, UU Bantuan Hukum sangat merugikan profesi advokat karena memungkinkan dosen, mahasiswa hukum, dan aktivis LBH beracara di dalam maupun di luar pengadilan dalam rangka memberi bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Padahal UU Advokat dan PP No. 83 Tahun 2008 sudah mengatur kewajiban advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin.

Selain itu, lewat mekanisme UU Bantuan Hukum, sangat dimungkinkan pengawasan pemerintah terhadap advokat. Sebuah prinsip yang sebenarnya sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi sendiri. Pengawasan advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan semua pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) UUD 1945.`

Tags: