Tolak Kriminalisasi, IKAHI ‘Gugat’ UU SPPA
Berita

Tolak Kriminalisasi, IKAHI ‘Gugat’ UU SPPA

Ketiga pasal yang diuji dinilai melanggar independensi hakim dan konsep pembagian kekuasaan negara hukum.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Tolak Kriminalisasi, IKAHI Gugat UU Sistim Peradilan Pidana Anak. Foto: ilustrasi (Sgp)
Tolak Kriminalisasi, IKAHI Gugat UU Sistim Peradilan Pidana Anak. Foto: ilustrasi (Sgp)

Niat kalangan hakim untuk ‘menggugat’ UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) akhirnya diwujudkan. Rabu (24/10), Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) secara resmi telah mendaftarkan permohonan pengujian UU SPPA ke MK. Pengurus IKAHI telah menguasakan pengajuan permohonan ini terhadap tiga orang hakim yakni Lilik Mulyadi, Teguh Satya Bhakti, dan Andi Nurvita.    

Wadah perkumpulan hakim di Indonesia ini mempersoalkan sejumlah pasal yang memuat sanksi pidana bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim, yakni Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA.

“Ketiga pasal yang memuat sanksi pidana bagi hakim itu secara nyata telah mengurangi atau membatasi independensi hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya,“ kata Lilik usai mendaftarkan permohonan di Gedung MK.     

Misalnya, Pasal 96 berbunyi, “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200 juta”. Pasal 7 ayat (1) memuat kewajiban upaya diversi bagi ancaman pidana di bawah tujuh tahun.    

Lalu, Pasal 100 menyebutkan “Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”. Pasal 35 ayat (3) menyebutkan jika jangka waktu penahanan anak selama 25 hari habis, hakim belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum.        

Pasal 101 juga menyebutkan “pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.     

Lilik mengatakan ancaman sanksi pidana itu telah membuka penafsiran bahwa pelanggaran terhadap hukum pidana formal anak (prosedur hukum acara) merupakan tindak pidana.  “Padahal kan jelas, hukum pidana formal anak adalah adalah instrumen bagi hakim untuk menegakkan hukum pidana materil anak,” Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara ini.

Dia mencontohkan ketika jangka penahanan anak habis dalam pemeriksaan pengadilan, hakim tidak mengeluarkan dia dari tahanan, hakim bisa dipidana. Padahal untuk kepentingan hukum dirasa belum perlu untuk mengeluarkan dia dari tahanan.

“Aturan di KUHAP juga memang diatur seperti itu, jika lewat batas waktu penahanan, tersangka atau terdakwa harus keluar demi hukum. Kalau misalnya belum keluar dari lembaga Lapas, Lapasnya yang seharusnya bertanggung jawab bukan hakimnya. Ini salah pemikiran dari pembentuk undang-undang,” katanya.

Menurutnya, konsekuensi dari pelanggaran hukum pidana formal anak adalah sanksi administratif yang dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. “Pengawasan ini sudah dilakukan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adanya pelanggaran kode etik sanksinya diberhentikan sebagai hakim, bukan dipidana,” tuturnya.   

Dia menambahkan di seluruh dunia tidak ditemukan ketentuan yang mengatur kriminalisasi bagi hakim yang melanggar prosedur hukum acara. “Di negara manapun tidak ada aturan seperti itu. Inggris, misalnya, kebebasan hakim bukan main disana.”

Karena itu, IKAHI meminta MK membatalkan ketiga pasal itu karena melanggar independensi hakim dan konsep pembagian kekuasaan negara hukum seperti diatur Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. “Kita minta MK batalkan ketiga pasal itu karena bertentangan dengan prinsip negara hukum,” tutupnya.

Sekadar mengingatkan, beberapa waktu lalu, hukumonline mengadakan Polling dengan pertanyaan, “Apa sikap anda terkait sanksi pidana bagi penegak hukum dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak?” Hasilnya 49 persen responden setuju, 16 persen kurang setuju, dan 36 persen tidak setuju.

Tags: