Somalindo
Tajuk

Somalindo

Kalau petinggi negara saja sudah dihinggapi rasa frustrasi yang tinggi, bisa dibayangkan bagaimana dengan mereka yang tidak berada di lingkar kekuasaan.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Somalindo
Hukumonline

Ketika serombongan penguasaha dan profesi beraudiensi ke hadapan seorang pejabat tinggi negara yang dikenal jujur dan reformis, beliau menyambut dengan sapaan sinis: “welcome to the lawless country, country with no legal certainty.” Rombongan yang datang menghadap tentu agak terkejut, karena tujuan audiensi justru untuk memohon ditegakkannya “rule of law” dan diberikannya keadilan atas persoalan investasi mereka, dan juga justru karena sinisme tersebut datang dari petinggi yang sangat dihormati, bahkan dianggap sebagai pembela tegaknya demokrasi dan dilakukannya perubahan besar-besaran atas sistem politik, ekonomi, hukum dan kebijakan pembangunan kita.

Sejenak, harapan para penghadap sirna begitu saja. Ketika rombongan yang sama berbicara dengan petinggi salah satu perusahaan besar di Eropa Utara, pengusaha besar tadi mengatakan, juga dengan nada sinis, bahwa perlakuan yang diberikan kepada perusahaannya terhadap masalah hukum mereka di Indonesia mirip dengan pemerasan dan penyanderaan ala aksi para pembajak Somalia. Secara bergurau, para peserta pembicaraan kemudian sepakat membuat istilah baru, “somalindo”, yang mereka artikan sebagai Indonesia yang salah satu sisinya berwarna sangat gelap. Dua peristiwa tersebut tentu mengejutkan siapapun yang mengaku masih menjadi “concerned citizens”.

Sikap eksekutif pusat yang kerap sekali menunda penyelesaian yang bermartabat atas masalah-masalah peka yang terjadi di sekitar kita, penolakan eksekutif untuk konsisten menggunakan konvensi-konvensi tata pergaulan nasional dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut, perlakuan pemerintah daerah yang terkooptasi dan melindungi perilaku kelam sejumlah pengusaha kotor, dan sikap penegak hukum serta badan peradilan yang membabi buta membiarkan digunakannya sistem dan proses hukum serta aparatur resmi negara untuk menyandera korban (sebagian diantaranya penguasaha asing), sungguh membuat frustrasi mereka yang beriktikad baik ingin menggunakan Indonesia sebagai bagian dari pengembangan usahanya.

Kesan awal pejabat tinggi negara pada awal cerita di atas menunjukkan tingginya tingkat frustrasi para reformis di kalangan petinggi eksekutif. Frustrasi yang sama dirasakan pada sejumlah kementerian, lembaga negara, bahkan juga kalangan penegak hukum sendiri. Kalau petinggi negara saja sudah dihinggapi rasa frustrasi yang tinggi, bisa dibayangkan bagaimana dengan mereka yang tidak berada di lingkar kekuasaan, mereka yang tidak punya akses kepada kekuasaan, mereka yang tidak mau menggunakan cara-cara korup untuk menyelesaikan masalahnya, dan mereka yang berjuang di lini terdepan untuk memperjuangkan Indonesia yang punya toleransi zero terhadap korupsi. Sebaliknya, mereka yang diuntungkan dan karenanya seenaknya meneruskan praktik orde baru, semakin mampu mengembangkan jaringan dan cara untuk memperkaya diri sendiri dan kroninya dengan cara-cara lama, korup dan politik hukum kotor.

Dahulu pernah ada ungkapan bahwa hukum (dagang) adalah hukum yang bisa diperdagangkan. Kini, hukum bukan hanya bisa diperdagangkan oleh sekalangan orang, hukum pun bisa digunakan untuk menyandera, alat pemeras dan penekan terhadap lawan politik, pesaing bisnis, lawan dalam perkara, dan juga masyarakat umum. Manakala hukum beraksi, walaupun untuk tujuan jahat sekalipun, maka hukum tetap bekerja bak pedang telah diayunkan. Tindakan yang menggunakan hukum tersebut sebagai dasar berpijak tetap sah dan harus ditaati kalau orang tidak mau kena sanksi. Manakala lembaga pembentuk kebijakan atau peradilan disalahgunakan untuk tujuan jahat, sesesat apapun tindakan tersebut kebijakan atau keputusan lembaga tetap akan dinyatakan sebagai yang sah, dan bisa dipaksakan berlakunya dengan menggunakan upaya paksa dari lembaga-lembaga penegak hukum. Kebijakan dan keputusan sesat sering kali terjadi. Mereka yang menjadi korban kebijakan dan keputusan tersebut tidak berdaya melawan.

Buruh bisa mogok. Petani bisa memblokir sarana umum. Mahasiswa bisa turun ke jalan dan memaksa diubahnya kebijakan, bahkan bisa menjatuhkan rezim. Tetapi warga negara yang taat hukum, pengusaha dan perusahaan yang dalam kesehariannya dituntut untuk menjunjung tinggi hukum dan prinsip-prinsip tata kelola yang bersih (good governance) dan karenanya akan selalu tunduk pada hukum dan lembaga hukum resmi, akan tersandera bila hukum yang sah atau lembaga negara atau penegak hukum yang berwenang dengan sah memberlakukan suatu hukum yang salah, atau yang penerapannya disalahgunakan, dimanipulir dan sengaja ditujukan untuk kepentingan-kepentingan yang salah bahkan jahat. Melawan hukum atau kebijakan yang sesat, melawan perintah sesat pejabat tinggi yang berwenang, bukan merupakan budaya hukum mereka. Kalaupun melawan, upahnya adalah penjara dan sanksi berat lain. Dalam keadaan seperti itu upaya yang bisa dilakukan untuk melawan hanya upaya diplomasi, edukasi dan pembentukan pendapat publik melalui media bahkan media sosial, yang kita tahu mudah dibengkokkan dan cenderung tidak memihak yang tidak populer.

Contoh kejadian-kejadian tersebut berderet panjang, bahkan setelah kita katanya ber-reformasi selama hampir 15 tahun. KPK dan sejumlah pimpinannya tersandera dalam kasus cicak-buaya. Masih segar dalam ingatan kita, Chandra Hamzah dan Bibit Samat Rianto harus rela dipenjara selama 3 hari ketika melakukan tugasnya dengan benar pemberantasan korupsi hanya karena melawan polisi yang kalap mau menghancurkan KPK. Wapres Boediono tersandera oleh kasus bank century. Presiden SBY tersandera atau merasa tersandera oleh parpol-parpol pendukung dan pengkritiknya.

Tags: