Kepemilikan Asing di Perbankan Tak Jamin Efisiensi
Berita

Kepemilikan Asing di Perbankan Tak Jamin Efisiensi

Kemampuan investor lokal untuk mengakuisisi bank-bank kecil dipertanyakan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Kepemilikan asing di perbankan tak jamin efisiensi. Foto: ilustrasi (Sgp)
Kepemilikan asing di perbankan tak jamin efisiensi. Foto: ilustrasi (Sgp)

UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum jelas memperbolehkan kepemilikan asing di bank nasional hingga 99 persen. Namun, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Dony Abdul Chalid, berpendapat bahwa masuknya kepemilikan asing atau dikenal dengan istilah konsolidasi dalam dunia perbankan Indonesia tidak memberikan efek efisiensi kepada bank terutama dalam waktu jangka panjang.

“Jangka pendek masuknya kepemilikan asing menaikkan efisiensi sebuah bank, tetapi dijangka panjang efek ini hilang,” katanya kepada hukumonline, Selasa (11/12).

Menurut Dony, konsolidasi perbankan di Indonesia memiliki dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, konsolidasi dapat membuat industri perbankan relatif lebih stabil dan juga menumbuhkan bank-bank besar sehingga diharapkan mampu meningkatkan aktifitas tingkat regional maupun internasional. Di  sisi lain, proses konsolidasi menjadi pintu masuk investor asing untuk memiliki bank yang ada.

Jika pemerintah akan menata ulang terkait kepemilikan asing dalam industri perbankan di Indonesia, kekahawatiran yang timbul adalah keengganan investor asing untuk masuk ke industri perbankan di Indonesia. Dony menilai minat asing menanamkan modalnya pada dunia perbankan di Indonesia karena dapat mengelola industri tersebut secara menyeluruh dengan kepemilikan mayoritas saham sebesar 99 persen. Permasalahannya, sambungnya, apakah investor dalam negeri memiliki kemampuan untuk mengakuisisi bank-bank kecil?

Perlu diketahui, peraturan yang memperbolehkan asing masuk dan memiliki saham sebesar 99 persen pada industri perbankan Indonesia diawali dengan krisis moneter pada 1998-1999 yang disebabkan oleh bangkrutnya industri perbankan di Indonesia.

Setelah negara melakukan nasionalisasi perbankan, aset-aset yang dimiliki oleh bank pada masa itu dijual kembali oleh negara tetapi tidak ada investor dalam negeri yang sanggup membeli. Hasilnya, pemerintah mencoba membuka peluang bagi investor asing untuk membeli saham perbankan Indonesia dengan komitmen jangka panjang. Salah satunya dengan memberikan peluang kepemilikan saham sebesar 99 persen.

Pengamat Perbankan Fauzi Ichsan memberikan pandangan yang berbeda dengan Dony. Kepemilikan saham dominan oleh asing sebesar 99 persen dinilai efisien dan wajar karena asing terbukti memiliki corporate governance yang baik. Pasalnya, salah satu pemicu krisis moneter empat belas tahun silam adalah gagalnya pengelolaan industri perbankan Indonesia yang dikuasai oleh konglomerat Indonesia.

Tags: