Pengamat: Manfaat Redenominasi Harus Jelas
Berita

Pengamat: Manfaat Redenominasi Harus Jelas

Redenominasi dinilai sebagai kebijakan minim manfaat dan merugikan rakyat menengah bawah.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Pengamat: Manfaat Redenominasi Harus Jelas
Hukumonline

Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sudah lama membahas kebijakan redenominasi Rupiah. Dengan redenominasi ini, kelak akan diterbitkan mata uang Rupiah baru dengan penghapusan angka tiga nol. Dengan begitu, mata uang Rp1.000 saat ini akan diganti dengan Rp1.

BI dan pemerintah mengklaim kebijakan redenominasi mengandung banyak manfaat dan tidak sama dengan pemotongan uang atau yang sering disebut dengan sanering. Sayangnya, pernyataan tersebut tidak didukung oleh argumen-argumen yang jelas dan empirik tentang manfaat dari redenominasi.

Hal itu disampaikan Mantan Menteri Koordinator dan Perekonomian, Rizal Ramli, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi XI di Komplek Senayan Jakarta, Senin (28/1). “Sayangnya, pernyataan tersebut tidak didukung dengan argument-argumen yang jelas tentang manfaat redenominasi,” katanya.

Menurutnya, menerbitkan uang baru Rp1 yang nilainya sama dengan Rp1.000,pada praktiknya merupakan “paksaan inflasi”. Soalnya, daya beli golongan menengah ke bawah akan terpotong dengan adanya kenaikan harga-harga setelah mata uang baru diterbitkan.

Dia mencontohkan sebungkus kacang goreng yang sekarang harganya berkisar Rp800 saat ini, kelak dengan uang baru harganya akan disesuaikan menjadi Rp1. Menurut Rizal, ini sama saja menaikkan harganya sebesar Rp200 dari mata uang sekarang. Inflasi yang dipaksakan inilah, menurut Rizal, yang akan terjadi serentak setelah pemberlakuan redenominasi.

Untuk kelas menengah ke atas, Rupiah baru memang lebih nyaman. Pasalnya mereka bisa membawa uang tunai Rp10 juta saat ini menjadi hanya Rp10.000 uang baru atau hanya sepuluh lembar pecahan Rp1.000. Namun Rizal mempertanyakan, berapa persen orang Indonesia yang mampu mengantongi uang tunai Rp10 juta per hari. Menurut perhitungan Rizal, persentase tersebut kurang dari 0,5 persen dari penduduk Indonesia.

“Kok bisa merancang kebijakan baru hanya untuk menyenangkan 0,5 persen orang paling kaya di Indonesia?,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: