Berhadap Ada Solusi dalam RUU Migas
Berita

Berhadap Ada Solusi dalam RUU Migas

Jika tidak segera diselesaikan, ketidakpastian akan terus mengganggu kebijakan energi nasional.

Oleh:
CR-14
Bacaan 2 Menit
Berhadap Ada Solusi dalam RUU Migas
Hukumonline

Komisi VII DPR terus mengundang sejumlah pakar untuk memberikan masukan atas RUU Migas. Revisi ini diperlukan setelah beberapa materi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Termasuk pembubaran BP Migas.

Ekonom Faisal Basri dan ahli hukum Prof. Erman Rajagukguk tercatat pernah memberikan masukan kepada Komisi VII DPR. RUU ini diharapkan memberikan solusi atas berbagai persoalan regulasi migas selama ini.

Salah satu poin penting diperhatikan anggota Dewan penyusun RUU adalah kepentingan nasional. UU No. 22 Tahun 2001 dinilai cenderung berpihak pada asing. Menurut Faisal Yusra, Presiden Serikat Pekerja Minyak dan Gas, materi RUU Migas harus senantiasa meletakan keberpihakan pada kerangka kepentingan rakyat Indonesia.

Para pekerja migas akan mengawal proses pembahasan RUU di DPR. Pengawalan oleh pekerja migas dan pemangku kepentingan lain penting dilakukan agar materi RUU selaras dengan putusan MK, terutama bagian yang menyangkut kebijakan pro-asing.

“Jika ternyata masih tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat dan masih memiliki keberpihakan terhadap pihak asing, tanpa ragu akan kita ajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk di-judicial review,” tegasnya kepada hukumonline di sela acara diskusi ‘Menimbang Keberadaan BPH Migas: Masih Perlukah?’ di Jakarta, Kamis (31/1) kemarin.

Faisal Yusra berpendapat regulasi migas adalah wewenang penuh pemerintah, sedangkan operasional bisa dipegang oleh Pertamina. Perusahaan asing, perusahaan badan usaha milik negara, dan koperasi menjadi mata rantai suplai. Faisal menilai pengelolaan supply chain itu ada di tangan Pertamina seperti yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1971. “Pihak asing dalam hal ini bekerja sama dengan Pertamina,” imbuhnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setyawan, berharap  RUU Migas secepatnya bisa diselesaikan. Jika revisi tak diselesaikan dalam waktu dekat, Mamit khawatir iklim ketidakpastian investasi di sektor migas akan terus berlanjut.

Solusi kelembagaan sementara yang ditempuh Pemerintah lewat Perpres No. 9 Tahun 2013, lanjut Mamit, masih riskan. Selain masih ada nuansa keberpihakan terhadap asing, Perpres tersebut belum menjamin posisi pemerintah aman jika terjadi sengketa di arbitrase internasional.

“UU Migas yang ada saat ini justru mengakomodasi model governement to business memposisikan negara sebagai pihak yang lemah dalam pengelolaan migas dalam negeri,” katanya kepada hukumonline.

Ia berharap pola hubungan negara dan para pengusaha atau investor harus diperjelas RUU Migas. Pola tersebut harus mampu memberikan kepercayaan bagi seluruh rakyat indonesia dan para investor mengenai kepastian hukum dan keamanan berinvestasi di sektor migas kedepannya. “Iklim investasi kita turun, banyak perusahaan migas yang enggan berinvestasi karena ketidakjelasan sistem pengelolaan migas yang ada,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait