Nasib Konsumen dalam Kasus Kepailitan
Fokus

Nasib Konsumen dalam Kasus Kepailitan

Kemudahan mempailitkan perusahaan telah menggerus kepentingan konsumen. Perlu sinkronisasi dengan UU Perlindungan Konsumen.

Oleh:
HRS/M-15
Bacaan 2 Menit
Nasib Konsumen dalam Kasus Kepailitan
Hukumonline

Berhati-hatilah berutang jika tak ingin perusahaan Anda dimohonkan pailit. Sebab, pailit telah menjadi salah satu upaya hukum yang sering dipakai untuk memaksa pembayaran utang. Data dari Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat menunjukkan lebih dari seratus permohonan pailit sejak awal Januari 2012.

Memang, tidak semua permohonan itu dikabulkan. Tetapi hasilnya sulit diprediksi. Total nilai aset yang berkali-kali lipat dari jumlah utang bukan jaminan bagi perusahaan untuk lolos. Sepanjang ada utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan ada kreditor lain, perusahaan Anda bisa dipailitkan. Tak peduli apakah perusahaan Anda bersinggungan dengan jutaan konsumen, atau hanya perusahaan jasa. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memungkinkan perusahaan dipailitkan sepanjang memenuhi syarat utang dan kreditur.

Tengok saja apa yang pernah dialami PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel). Punya aset senilai Rp52,723 triliun tak membuat perusahaan ini lolos dari pailit di Pengadilan Niaga lantaran punya utang sekitar Rp5,3 miliar. Utang itu berawal dari purchasing order (PO) voucher isi ulang pulsa. Hubungan bisnis keduanya tak berlanjut. PT Prima Jaya Informatika (PJI) menuding Telkomsel tak membayar utang, dan memohonkan pailit perusahaan plat merah itu.

Kepailitan Telkomsel akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada 21 November tahun lalu. Majelis kasasi menyebut pembuktian utang Telkomsel, seperti amanat Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan, tidaklah sederhana. Tetapi kasus ini menimbulkan pertanyaan bagaimana nasib jutaan konsumen Telkomsel.

Nasib konsumen kembali menjadi teka-teki ketika memasuki tahun 2013, Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat kembali mempailitkan PT Metro Batavia, perusahaan pengelola maskapai penerbangan Batavia Air. Majelis mengabulkan permohonan perusahaan asal Amerika Serikat, International Lease Finance Corporation (ILFC), karena debitor tak mampu membayar sewa pesawat, biaya cadangan mesin, dan bunga. Total utangnya mencapai AS$4,6 juta.

Di persidangan, Batavia mengakui utang tersebut. Merujuk Pasal 164 HIR, pengakuan adalah bukti sempurna. Itu pula sebabnya, majelis tak ragu mengetok palu pailit terhadap Batavia Air.

Nasib Konsumen

Kasus Telkomsel dan Batavia adalah dua contoh kepailitan yang bersinggungan dengan kepentingan ribuan, bahkan jutaan konsumen. Calon penumpang pesawat Batavia Air yang sudah membeli tiket hanya bisa gigit jari karena pengurusan perusahaan beralih ke kurator begitu majelis hakim mengetok palu pailit. Mau refund tiket, kantor-kantor Batavia Air justru sudah tutup. Karyawan perusahaan juga tak bisa berbuat banyak. Pelanggan Telkomsel tak kalah bingungnya, membayangkan implikasi hukum terhadap konsumen jika perusahaan benar-benar bankrut.

Tags:

Berita Terkait