Bahrin Lubis:
Kode Etik Panitera untuk Cegah Penyimpangan
Profil

Bahrin Lubis:
Kode Etik Panitera untuk Cegah Penyimpangan

Ikatan Panitera dan Sekretaris Pengadilan telah berhasil menyusun sebuah kode etik. Bukan hanya mengatur sikap panitera dan jurusita saat berdinas, tetapi juga berumah tangga.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Bahrin Lubis: <br>Kode Etik Panitera untuk Cegah Penyimpangan
Hukumonline

Kalau mau melihat pengadilan sebagai rumah keadilan, jangan hanya melihat pada hakim. Panitera dan jurusita adalah aparatus yang turut berperan menampilkan wajah pengadilan ke hadapan publik. Sejumlah kasus yang mencoreng wajah pengadilan memperlihatkan keterlibatan panitera atau jurusita. Panitera malah terseret kasus yang ditangani KPK. Karena itu, reformasi peradilan harus melibatkan panitera dan jurusita.

Menyadari pentingnya peran panitera dan jurusita, selama dua tahun terakhir Ikatan Panitera dan Sekretaris Pengadilan Indonesia (IPASPI) berusaha menyusun kode etik sebagai panduan berperilaku bagi panitera dan jurusita. Draf kode etik itu sudah disetujui IPASPI bersamaan dengan penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung pada akhir Oktober-awal November tahun lalu.

IPASPI berusaha mensosialisasikan kode etik dan pedoman perilaku itu kepada panitera di seluruh Indonesia. Wakil Ketua Umum IPASPI Pusat, Bahrin Lubis, termasuk yang sering diminta untuk memberikan pemahaman mengenai kode etik panitera dan jurusita tersebut. Pria yang menjabat sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Mahkamah Agung ini bukan saja ikut intens menyusun, tetapi juga sosialisasi ke daerah. Mantan Panitera/Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama Jakarta ini memaparkan pandangannya mengenai kode etik panitera dan jurusita kepada hukumonline. Berikut petikannya:

Apa dasar pemikiran penyusunan kode etik panitera dan Jurusita pengadilan?

Dasar penyusunan kode etik ini sebenarnya dalam rangka menjalankan reformasi birokrasi yang mengamanatkan setiap organisasi profesi harus memiliki kode etik. Panitera dan Jurusita adalah jabatan profesi yang harus diikat dengan moral, meski tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak cukup diatur oleh aturan kepegawaian pada umumnya, seperti UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Ikatan moral ini bisa berakibat pada hukuman disiplin.

Selain itu, penyusunan kode etik ini terinspirasi oleh kode etik panitera yang berlaku di Federal Court of Australia. Kita melakukan perbandingan dengan Kode Etik Panitera Federal Court of Australia tahun lalu. Hal-hal yang sesuai dengan corak dan budaya Indonesia kita ambil.                        

Apakah karena sering terjadi pelanggaran oleh panitera atau Jurusita?

Kode etik ini sebenarnya untuk mencegah dan menjaga tindakan atau perbuatan tercela yang dilakukan panitera dan Jurusita. Misalnya saat bersidang, panitera dilarang menerima telepon, mengantuk, larangan minum-minuman keras, memasuki tempat-tempat prostitusi, atau lokasi perjudian, kecuali dalam melaksanakan tugas. Dalam aturan PP Disiplin PNS hal-hal itu tidak diatur. Meski demikian, jika ada penyimpangan atau pelanggaran kode etik atau perilaku akan dikenai sanksi sesuai PP Disiplin PNS, bisa dipecat. Termasuk, jika panitera atau Jurusita melakukan tindak pidana juga tetap akan diproses secara pidana oleh aparat penegak lain.                          

Sejak kapan kode etik panitera dan uru sita disusun hingga kemudian disahkan?

Penyusunan Kode Etik Panitera dan Jurusita ini mulai disusun sejak 2011 lalu oleh sebuah tim yang berasal dari unsur Pengurus IPASPI, Tim Pembaruan, dan Bawas MA. Sebelum disahkan, kode etik ini telah disosialisasikan kepada para anggota IPASPI di beberapa provinsi untuk memperoleh masukan. Kebetulan, saya yang ditunjuk oleh pengurus IPASPI untuk menyampaikan materi kode etik itu. Kode etik ini hanya mengikat panitera dan Jurusita, tidak mengikat sekretaris pengadilan karena tugasnya tidak secara langsung menyangkut pelayanan perkara.              

Tags:

Berita Terkait