Cacat Hukum Pembatasan Kegiatan Outsourcing
Kolom

Cacat Hukum Pembatasan Kegiatan Outsourcing

Permenakertrans tentang Outsourcing melanggar UU Ketenagakerjaan dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bacaan 2 Menit
Cacat Hukum Pembatasan Kegiatan Outsourcing
Hukumonline

Menakertrans pada 14 November 2012 mengesahkan Peraturan Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Permenakertrans).  

Permenakertrans yangdiundangkan pada 19 November 2012 ini menggantikan dua ketentuan sebelumnya. Yaitu Keputusan Menakertrans Nomor KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/buruh dan Keputusan Menakertrans Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Pasca pemberlakuan Permenakertrans tersebut, muncul pro kontra di masyarakat, terutama di kalangan dunia usaha pada umumnya dan kalangan pelaku usaha alih daya (outsourcing) dan pekerjanya. Terutama berkenaan dengan pembatasan jenis kegiatan jasa penunjang yang dapat dialihdayakan. Artikel ini akan menyoal problematika Permenakertrans tersebut, baik substansi maupun prosedural.

Pertama, Permenakertrans a quo berjudul Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Secara teoretik dan normatif, judul tersebut menggambarkan bahwa substansi/materi Permenakertrans merupakan “norma prosedural” yaitu norma yang isinya mengatur hal-hal yang berkenaan dengan tatacara atau prosedur. Sementara “norma materiil” termaktub dalam UU Nomor 13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yaitu dalam Pasal 66ayat (1).

Norma materiil sebagaimana diatur dalam  Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara eksplisit tentang jenis kegiatan jasa penunjang, namun Pasal 17 ayat (3) Permenakertrans mengatur atau melakukan pembatasan jenis kegiatan jasa penunjang.

Kedua, Pasal 1 angka 3 Permenakertrans bertentangan dengan Pasal 66 ayat (3)  UU Ketenagakerjaan.  Pasal 1 angka 3 Permenakertrans menyatakan bahwa Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan. Sementara Pasal 66 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab  di bidang ketenagakerjaan.

Kedua peraturan tersebut menunjukan pertentangan dimana Pasal 1 angka 3 Permenakertrans melakukan pembatasan badan hukum yaitu hanya Perseroan Terbatas (PT). Sementara Pasal 66 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur bentuk usaha yang berbadan hukum, dapat berbentuk PTatau badan hukum lainnya.

Tags:

Berita Terkait