Pro Kontra Kewenangan Pengadilan Kasus LP Cebongan
Berita

Pro Kontra Kewenangan Pengadilan Kasus LP Cebongan

Peradilan koneksitas mungkin diterapkan dengan syarat ada unsur sipil terlibat dalam kasus penyerangan LP Cebongan.

Oleh:
M-15/ANT
Bacaan 2 Menit
Pro Kontra Kewenangan Pengadilan Kasus LP Cebongan
Hukumonline

Misteri penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman akhirnya mulai terkuak. Tim investigasi TNI telah mengumumkan temuan mereka tentang pelaku penyerangan yang terjadi pada 23 Maret 2013 itu. Pelakunya adalah 11 oknum dari satuan Korps Pasukan Khusus (Kopassus).

"Pelaku adalah sebelas oknum berasal dari Grup 2 Kopassus Kartasura, terdiri atas satu eksekutor dengan inisial U, delapan orang pendukung yang gunakan dua unit Avanza biru dan APV Hitam. Ada juga dua orang menggunakan Feroza yang berusaha cegah tindakan rekan-rekan tersebut, namun tidak berhasil," papar Wakil Komandan Puspom TNI AD Brigjen TNI Unggul T Yudhoyono di Jakarta, Kamis (4/4).

Berdasarkan investigasi tim TNI, motif penyerangan yang mengakibatkan tewasnya empat orang tahanan itu adalah solidaritas korps dan dalam rangka membela kehormatan satuan. Tindakan 11 oknum Kopassus itu diduga terkait dengan wafatnya Heru Santoso (31), anggota Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, di Hugo's Cafe Maguwoharjo pada 19 Maret 2013.

Dikatakan Unggul, Heru Santoso adalah atasan dari pelaku penyerangan. Tidak sekadar atasan, Heru juga diketahui pernah berjasa menyelamatkan pelaku penyerangan dalam sebuah tugas operasi Kopassus.

Setelah teka-teki pelaku penyerangan terjawab, kini muncul perdebatan seputar kewenangan pengadilan atas kasus ini. Pihak TNI telah menegaskan bahwa 11 pelaku penyerangan akan disidang di pengadilan militer. Namun, keputusan ini ditentang oleh kalangan LSM.

Koordinator Kontras, Harris Azhar berpendapat proses peradilan terhadap pelaku penyerangan LP Cebongan seharusnya di pengadilan umum. Alasannya, menurut Harris, tindakan para penyerang LP Cebongan adalah kejahatan umum. “Kan peradilan itu berbasis pada tindakan bukan pada orang,” ujar Harris kepada hukumonline via telepon, Kamis malam (4/4).

Pernyataan Harris senada dengan siaran pers sejumlah LSM, termasuk juga Kontras, pada 24 Maret 2013. Intinya, mereka mendesak agar oknum TNI yang menjadi pelaku penyerangan diadili berdasarkan mekanisme peradilan umum. Menurut Kontras dkk, sebagai perwujudan asas equality before the law, maka anggota TNI harus diperlakukan sama dengan warga negara pada umumnya.

Tags: