RUU P2H Ulang Pengelolaan Hutan Era Kolonial
Berita

RUU P2H Ulang Pengelolaan Hutan Era Kolonial

Menyerahkan pengelolaan pada korporasi, menghilangkan kehidupan rakyat.

Oleh:
INU
Bacaan 2 Menit
Kerusakan hutan. Foto : kerusakan-hutan.blogspot.com
Kerusakan hutan. Foto : kerusakan-hutan.blogspot.com

Mengesahkan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) sama saja menghidupkan pengelolaan hutan yang tak manusiawi di Indonesia pada era kolonialisasi Belanda. Sekaligus menjadi undang-undang payung bagi proses kriminalisasi rakyat.

Demikian pendapat Noer Fauzi Rachman, pengajar di Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (4/4). Diskusi diadakan oleh koalisi masyarakat publik untuk menggalang partisipasi publik menentang pengesahan RUU P2H.

Dia menguraikan sejarah pengelolaan hutan, pada era kolonial hingga saat ini. Pada era kolonial, hutan dijauhkan dari akses publik. Pengelolaan hutan terutama di Jawa menggunakan UU Kehutanan 1865. Beberapa kali, undang-undang ini direvisi 1874, 1875, 1897, dan 1893.

Prinsip yang dikembangkan undang-undang ini adalah domeinverklaring. Prinsip yang menyatakan semua tanah hutan dan tanah yang tidak dimiliki adalah milik negara. Pemilik lahan harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan pemerintah. Oleh sebab itu dibentuklah organisasi pengelolaan hutan jati yang pertama kali dibentuk oleh Gubernur Jenderal Daendels pada 1808.

Setelah proklamasi kemerdakaan, lahir UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tujuannya adalah melaksanakan land reform di Indonesia. Namun, niat tersebut ditentang penguasa lahan karena mereka tak ingin kehilangan aset.

Setelah peristiwa G 30 S/PKI, pemisahan kehutanan dari wilayah agraria diperlebar dengan UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang sama sekali tidak menyinggung UUPA. Dihidupkan kembali prinsip negara yang menguasai lahan hutan serta memberikan kewenangan pada menteri kehutanan menentukan kawasan mana saja yang termasuk dalam kawasan hutan.

Pada 1983, Presiden Soeharto memisahkan Direktorat Jenderal Kehutanan menjadi Departemen Kehutanan dari Departemen Pertanian. Mulai bermunculan perusahaan besar dari dalam maupun luar negeri mengakumulasi kekayaan dari hasil eksploitasi hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Sedangkan di Jawa dan Madura, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.15 Tahun 1972 tentang pembentukan Perhutani. Pada 1978, Perhutani baru merambah hutan di Jawa Barat.

Tags:

Berita Terkait