Pentingkah Mengatur Kembali Penghinaan Presiden?
Kolom

Pentingkah Mengatur Kembali Penghinaan Presiden?

Sayangnya, rancangan KUHP yang katanya menggantikan hukum pidana produk kolonial justru memiliki aturan-aturan yang dapat membawa kita kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme itu sendiri.

Oleh:
Anggara
Bacaan 2 Menit
Pentingkah Mengatur Kembali Penghinaan Presiden?
Hukumonline

Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Presiden Indonesia dalam kurun waktu tertentu pernah begitu menikmati kekuasaan dan kewenangan yang tanpa kontrol. Selain menempati kekuasaan dan kewenangan yang besar, Presiden Indonesia juga sangat istimewa karena secara khusus dilindungi oleh hukum pidana.

Ada masa ketika aturan pidana tentang perlindungan Presiden ini tidak masif digunakan, karena pada saat yang sama ada regulasi yang lebih “lebih sempurna” untuk melindungi tidak hanya Presiden tapi juga penguasa secara keseluruhan; UU Anti Subversi. Dengan keberadaan regulasi Anti Subversi menyebabkan Presiden tak perlu sering-sering menggunakan ketentuan pidana yang melindungi Presiden. Namun apa boleh buat, UU Anti Subversi harus dicabut karena tak lagi sesuai dengan iklim yang membuka adanya perbedaan pendapat.

Sejak regulasi anti demokrasi tersebut dicabut pada 19 Mei 1999 melalui UU No 26 Tahun 1999, mulai marak pemidanaan terhadap para pengkritik Presiden dengan menggunakan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Tercatat setidaknya enam kasus yang diajukan ke muka persidangan karena tindakan dan/atau ekspresi politiknya dianggap sebagai menghina Presiden.

Pada 6 Desember 2006, perjuangan panjang para aktivis pro demokrasi untuk lebih membuka keran kebebasan telah menemukan momentumnya. Pada tanggal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Sejak putusan itu, tak ada lagi aktivis yang dapat dijerat dengan pasal-pasal tersebut, sekeras apapun kritiknya.

Sebagai catatan bahwa orang yang menduduki jabatan Presiden, dalam kualitas sebagai pribadi, masih dapat mengajukan tuntutan pidana bagi orang-orang yang dianggap telah menghinanya sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP. Sedikit merepotkan bagi Presiden, karena polisi tak lagi dapat secara otomatis mengajukan tuntutan tanpa ada laporan dari Presiden dan dilakukannya pemeriksaan terhadap diri orang yang menduduki jabatan Presiden.

Maret lalu, Presiden menyerahkan dua regulasi yang konon penting bagi Republik ini. Keduanya adalah Rancangan KUHAP dan Rancangan KUHP. Khusus untuk Rancangan KUHP dimaksudkan untuk mengganti ketentuan hukum pidana yang menurut para pembuat rancangan tersebut adalah warisan kolonial. Meski diklaim warisan kolonial, patut diingat bahwa KUHP yang berlaku saat ini tak dapat dinyatakan warisan kolonial begitu saja, karena aturan pidana ini justru memiliki akta kelahiran resmi yaitu UU No 1 Tahun 1946.

Namun sayang, rancangan KUHP yang katanya menggantikan hukum pidana produk kolonial justru memiliki aturan-aturan yang dapat membawa kita kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme itu sendiri. Salah satu sebabnya adalah diintrodusirnya kembali pasal Penghinaan Presiden yang diatur dalam Pasal  263 RKUHP.

Halaman Selanjutnya:
Tags: