Inilah Poin-Poin Fatwa Terbaru MUI tentang Poligami
Utama

Inilah Poin-Poin Fatwa Terbaru MUI tentang Poligami

Anak-anak yang lahir dari perkawinan kelima dan seterusnya tetap harus dilindungi meskipun mereka tak berhak menjadi ahli waris.

Oleh:
LITA PAROMITA SIREGAR
Bacaan 2 Menit
Demo menolak praktek poligami (Foto: SGP)
Demo menolak praktek poligami (Foto: SGP)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa No. 17 Tahun 2013 tentang Beristeri Lebih dari Empat dalam Waktu Bersamaan. Fatwa tentang berpoligami ini merupakan respon MUI terhadap pengaduan masyarakat mengenai seseorang yang menikah perempuan lebih dari empat orang dalam satu waktu. Poligami bisa menjadi bungkus kejahatan dalam perkawinan.

Mengingat sejumlah rujukan, termasuk pandangan ulama, MUI berpandangan haram hukumnya beristeri lebih dari empat perempuan pada waktu yang bersamaan. Inilah poin pertama dari lima poin dalam Fatwa yang dikeluarkan pada 19 April 2013 itu.

Poin kedua berisi ketentuan hukum jika pernikahan dengan isteri pertama hingga keempat dilaksanakan sesuai syarat dan rukun, maka mereka sah sebaga isteri dan memiliki akibat hukum pernikahan. Sedangkan wanita kelima dan seterusnya berstatus bukan sebagai isteri sah meskipun sudah terjadi hubungan suami isteri. Poin ketiga menentukan perempuan kelima dan seterusnya wajib dipisahkan karena tidak sesuai dengan ketentuan syariah.

Jika telah melakukan pernikahan dengan lebih dari empat orang perempuan pada waktu bersamaan, demikian poin keempat menentukan, pria tersebut harus bertaubat, bersedia melepaskan perempuan yang berkedudukan sebagai isteri kelima dan seterusnya. Selain itu si suami juga memberikan biaya-biaya kepada wanita dan anak-anak mereka.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, HM Asrorun Ni’am Sholeh, menjelaskan keharusan memberikan kebutuhan hidup kepada isteri kelima dan seterusnya beserta anaka-anak merupakan bentuk tanggung jawab hukum si suami. “Sebagai bentuk tanggung jawab hukum yang bersangkutan dan untuk memberikan perlindungan terhadap wanita dan anak-anaknya,” tulis Asrorun dalam pesan singkat yang dikirim kepada hukumonline.

Poin kelima dari Fatwa MUI tersebut menentukan jika suami tidak mau –misalnya—melepaskan perempuan kelima dan seterusnya, maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah sesuai kewenangannya untuk melepaskan perempuan yang tidak sah sebagai isterinya melalui Peradilan Agama (tafriq al-qadhi).

Fatwa MUI pada dasarnya menyebabkan pelepasan (perceraian) isteri kelima dan seterusnya, sehingga mereka terkesan tidak dilindungi hukum. Namun di mata Neng Djubaedah, seharusnya perempuan beragama Islam tahu menjadi isteri kelima dan seterusnya dalam waktu yang bersamaan tidak dapat dibenarkan. Apalagi kalau ada di antara isteri-isteri itu adalah kakak beradik. “Bagaimana bisa dilindungi, sejak awal sudah melanggar hukum,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Namun, anak-anak dari perkawinan kelima dan seterusnya, tetap harus dilindungi. Lepas dari ketiadaan hak mereka mewaris, anak-anak yang lahir dari perkawinan harus mendapat perlindungan. “Jangan sampai anak-anaknya tidak dilindungi,” ujar Neng Djubaedah.

Pada Februari lalu, Komnas Perempuan melansir temuan mereka tentang praktek poligami yang dijadikan bungkus kejahatan dalam perkawinan. Komnas mencatat setidaknya tiga model poligami yang menjadi bungkus kejahatan perkawinan. Pertama, perkawinan kedua dan seterusnya tidak dicatatkan. Kedua, pemalsuan identitas seperti mengaku duda atau mengaku sudah menjatuhkan thalak kepada isteri. Ketiga, mempermainkan akta nikah, misalnya buku nikah tidak dicatatkan di KUA atau datanya direkayasa.

Tags:

Berita Terkait