Masyarakat Harus Waspadai Politisasi SARA
Berita

Masyarakat Harus Waspadai Politisasi SARA

Kerap dimanfaatkan aktor politik untuk meraih kekuasaan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Masyarakat Harus Waspadai Politisasi SARA
Hukumonline

Aktivis HAM, Suma Mihardja mengingatkan agar masyarakat dapat logis dan cermat dalam menyikapi isu SARA. Pasalnya, isu tersebut kerap digunakan pihak tertentu untuk meraih kekuasaan. Suma khawatir masyarakat terjebak politik SARA sehingga seolah membenarkan tindakan SARA yang dilakukan terhadap kelompok tertentu.

Misalnya, ada tindak kekerasan oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas, karena merasa sebagian masyarakat mengamini tindakan tersebut. Akibatnya, penegakan hukum dan HAM tak berjalan sebagaimana mestinya.

Menurut Suma, setidaknya ada beberapa pilar yang melestarikan politik SARA seperti tentara, pengusaha, penguasa dan pemilik media. Khusus untuk pemilik media, Suma menjelaskan banyak produk media yang isinya mengarahkan kepada politk SARA. Seperti di Rwanda, pernah terjadi perang etnis yang memakan banyak korban akibat cerita yang sempat mengudara di sebuah radio. Begitu pula di Indonesia, tak sedikit sinetron yang secara sadar atau tidak mengantarkan isu SARA. Misalnya, sebuah sinetron berkisah tentang kelompok orang yang dianggap beriman dengan atribut tertentu melawan kelompok yang dianggap tak beriman.

Selain itu, isu SARA menurut Suma semakin menjadi ketika ada regulasi atau peraturan pendukung, seperti diskriminasi terhadap orang-orang golongan kiri. Atau fatwa yang dinyatakan MUI bahwa suatu kelompok agama dianggap sesat, sehingga aparat keamanan dapat bertindak mengacu aturan tersebut. Lagi-lagi hal itu tak terlepas dari peran media yang menggaungkan bahwa ketika tidak sepakat dengan MUI dituding sebagai tidak berakidah. Tak ketinggalan Suma berpendapat pemerintah melakukan pembiaran terhadap tindakan SARA yang terjadi. Seperti sengketa gereja Yasmin di Bogor.

Soal SARA juga terjadi di lingkungan kerja. Suma mengisahkan sebuah kasus di perusahaan yang mengangkat pekerja dari etnis tertentu langsung pada posisi manager dengan upah di atas rata-rata. Sedangkan untuk etnis lain yang baru masuk bekerja, jabatannya rendahan dan upah yang diterima normatif. Hal serupa juga terjadi di Malaysia pada tahun 1960-an, ketika pemerintah menerbitkan kebijakan yang mewajibkan setiap perusahaan etnis asing harus memberi ruang untuk kepemilikan saham etnis Melayu. Kebijakan ekonomi itu dijuluki Ali Baba dan sempat digunakan juga di Indonesia.

Suma berpendapat dengan kebijakan itu, pemerintah mengintervensi untuk meningkatkan posisi ekonomi kaum pribumi atau melayu. Namun, kebijakan tersebut mendapat tentangan keras dari kelompok masyarakat di Malaysia dan diprediksi menjadi bom waktu atau krisis. Pasalnya, ketika itu etnis melayu di Malaysia dirasa kurang berbakat untuk berbisnis. Akibatnya, ketika saham di perusahaan itu diberikan kepada etnis melayu dan minimnya kemampuan, maka tugas manajerial itu diserahkan kepada etnis lain yang dipandang lebih menguasai. “Pribumi jadi manja dan krisis ekonomi,” katanya dalam diskusi di kantor KontraS Jakarta, Senin (13/5).

Bagi Suma, politik SARA harus dicegah karena tidak mampu memposisikan seseorang secara objektif, tidak berdasarkan kualitas. Menurutnya, praktik yang cukup baik untuk dijadikan contoh dalam memanfaatkan perbedaan menjadi kekuatan positif adalah Timor Leste. Bekas provinsi Indonesia itu bagi Suma patut ditiru ketika seorang tokoh dari etnis di luar pribumi dapat tampil menjadi pimpinan negara, yaitu mantan Perdana Menteri Mari Alkatiri. Mengacu hal itu Suma menganggap walau Alkatiri berasal dari etnis Yaman, tapi Republik Demokratik Timor Leste memberi ruang baginya untuk menunjukan kemampuannya bernegara tanpa rasa khawatir.

Atas dasar itu Suma mengingatkan agar masyarakat bisa jernih melihat isu SARA dan menghindari jebakan yang dilakukan pihak tertentu untuk meraih kekuasaan. Pasalnya, isu SARA paling mudah membakar emosi seseorang sehingga dapat dimanfaatkan bagi kelompok tertentu untuk ‘bermain’.

Pasca 15 tahun reformasi, Suma belum melihat keseriusan pemerintah dan DPR untuk menggerus isu SARA. Suma berpendapat kondisi itu bakal berubah jika para pemangku kepentingan menjalankan konstitusi secara jujur dan konsekuen. Walau saat ini ada lembaga negara yang independen membidangi HAM yaitu Komnas HAM, tapi Suma tak berharap banyak. Pasalnya, kewenangan Komnas HAM tak cukup kuat untuk melakukan penegakan HAM.

Oleh karenanya Suma berharap ke depan, peraturan perundang-undangan terkait HAM, salah satunya UU HAM, perlu direvisi untuk memberi kewenangan kepada Komnas HAM agar mampu bertindak ketika ditemukan pelanggaran HAM, termasuk berkaitan dengan isu SARA. Ia mencontohkan Komnas HAM Australia yang mampu bertindak melindungi orang yang haknya dilanggar secara langsung. Misalnya, ditemukan perusahaan yang menggunakan politik SARA sehingga melanggar hak para pekerjanya. Dalam menindaklanjuti pelanggaran tersebut Suma mengatakan Komnas HAM Australia dapat memberikan sanksi kepada perusahaan sampai berhenti produksi.

Tags:

Berita Terkait