Regulator Diminta Selidiki Penyaluran KUR Fiktif
Berita

Regulator Diminta Selidiki Penyaluran KUR Fiktif

Diduga untuk kepentingan pemilihan kepala daerah.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Regulator Diminta Selidiki Penyaluran KUR Fiktif
Hukumonline

Gara-gara tudingan telah mencuri dari perusahaan tempat ia bekerja, Atik Sulistio Utami harus menggantikan uang tersebut sebesar Rp850 juta. Alasan tudingan ini lantaran Atik adalah orang yang memegang kunci pintu tempat brankas uang berada, tapi bukanlah kunci brankas.

“Karena kewenangannya itu, dia dituduh mencuri Rp850 juta. Dipaksa mengganti,” ujar suami Atik, Ahmad Fadly di komplek perkantoran Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Rabu (19/6).

Menurut Fadly, perusahaan tempat istrinya bekerja yakni Bank Jawa Timur (Jatim) cabang Gresik, menawarkan agar identitas Atik digunakan untuk pencairan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp500 juta. Pencairan tersebut bisa digunakan untuk menutupi uang yang telah dicuri.

Namun, lanjut Fadly, lantaran merasa tak mencuri uang, istrinya enggan memenuhi permintaan Bank Jatim. Setelah penolakan itu, Bank Jatim meminta Atik untuk menggantinya melalui pemotongan gaji selama 15 tahun. Permintaan ini tetap ditolak Atik dan suami.

Merasa tak mencuri, Atik dan suami melaporkan tindakan Bank Jatim kepada Kepolisian setempat. Hingga kini, belum ada hasil siginifikan atas laporan mereka tersebut. Tapi yang mengherankan, Bank Jatim tak mempermasalahkan persoalan ini ke aparat penegak hukum. “Itu dia yang bikin saya bingung,” katanya.

Kali ini, Fadly datang ke BI bersama aktivis ICW Donal Fariz. Dia ingin melaporkan dugaan terjadinya penyaluran KUR fiktif kepada regulator, yakni BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satu contohnya, kata Fadly, adalah terdapatnya Surat Keterangan Usaha (SKU) fiktif yang diterbitkan seorang kepala desa.

Menurut Fadly, SKU fiktif tersebut terungkap setelah dirinya memastikan nama dan alamat penerima KUR yang tertera dalam surat. Meski nama dan alamat yang tertera benar adanya, tapi nama yang ada di surat tersebut bukanlah orang yang memiliki kebun tebu berpuluh-puluh hektar.

Ia menduga, pencairan KUR fiktif ini tak jauh dari kepentingan pemilihan kepala daerah. Pasalnya, pencairan terjadi sebelum atau setelah pemilihan kepala daerah berlangsung. “Selain surat keterangan usaha fiktif, ada juga debitur fiktif. Ironisnya realisasi KUR diurus oleh calo-calo yang merupakan pengurus parpol,” ujar Fadly yang pernah melaporkan kasus ini ke KPK.

Dari catatan Komite KUR Nasional, lanjut Fadly, Non perofrming Loan (NPL) Bank Jatim per April 2013 berada di level 15 persen. Angka ini jauh dari batas KUR yang ditoleransikan BI yakni maksimal lima persen. “Sehingga NPL Bank Jatim berada paling tinggi jika dibandingkan dengan NPL Bank Pembangunan Daerah (BPD) lainnya,” katanya.

Donal Fariz mengatakan, dugaan penyaluran kredit tersebut bermasalah mulai dari tidak dilibatkannya dinas teknis dalam penyaluran. Padahal sesuai petunjuk teknis, penyaluran KUR harus melibatkan dinas teknis setempat, yakni dinas pertanian dan perkebunan untuk petani tebu.

“KUR diduga menjadi target korupsi dan lahan bancakan bagi elit-elit pemerintahan menjelang pilkada. Hal ini disebabkan lemahnya pengawasan dan kontrol dari Bank Jatim sendiri,” ujar Donal.

Dia percaya, kasus yang menimpa Atik ini bukan kasus satus-atunya. Menurutnya, kasus yang menimpa istri Fadly tersebut merupakan fenomena gunung es yang bisa meledak kapan saja. Donal berharap, baik OJK maupun BI melakukan pemeriksaan dan penyelidikan atas dugaan pembobolan Bank Jatim melalu KUR fiktif tersebut.

“Kami percaya, kasus Atik ini hanyalah fenomena gunung es belaka. Diduga banyak pembobolan Bank Jatim melalui KUR fiktif. Jika ini dibiarkan tentu akan merugikan keuangan negara,” tutup Donal.

Tags: