Kisi-Kisi Kontrak Pelaksanaan Bantuan Hukum
Utama

Kisi-Kisi Kontrak Pelaksanaan Bantuan Hukum

Pengurus PBH belum mendapat gambaran jelas tentang isi perjanjian. Menteri dapat membatalkan perjanjian.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Salah satu acara sosialisasi aturan bantuan hukum di kantor YLBHI Jakarta. (Foto: MYS)
Salah satu acara sosialisasi aturan bantuan hukum di kantor YLBHI Jakarta. (Foto: MYS)

Pemerintah sudah menyediakan Rp40,8 miliar dana bantuan hukum yang akan disalurkan kepada kebutuhan warga miskin melalui organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH). Hanya PBH yang sudah lolos verifikasi dan akreditasi yang berhak mendapatkan dana. Selain itu, setiap PBH harus menandatangani perjanjian dengan pemerintah.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum menyebut kontrak tersebut sebagai ‘perjanjian pelaksanaan bantuan hukum’. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai substansi perjanjian dimaksud.

“Kontraknya sudah kami persiapkan,” kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Wicipto Setiadi, Rabu (19/6) lalu. Ia menyebut materi kontrak akan disesuaikan dengan nilai akreditasi yang diperoleh setiap PBH. Akreditasi yang dipakai adalah A, B, atau C.

Namun sejumlah pengurus PBH yang dihubungi hukumonline mengaku belum mendapat gambaran tentang substansi perjanjian pelaksanaan bantuan hukum. Ayat Hidayat, Direktur Eksekutif LBH Pendidikan, misalnya mengaku belum tahu isi perjanjian dimaksud. “Belum,” ujarnya saat dihubungi vis telepon. PBH mendapat akreditasi C. Lepas dari materi kontrak, Ayat berharap BPHN tidak mempersulit pengelolaan bantuan hukum kepada warga miskin.

Firdaus menyampaikan pernyataan senada. Ketua Badan Pengurus Wilayah PBHI Sumatera Barat ini juga belum mengetahui isi dan bentuk perjanjian. “Kami baru diminta mengirimkan proposal bantuan hukum untuk satu tahun ke depan,” ujarnya kepada hukumonline. “Itu sudah kami kirimkan”.

Kalna Surya Siregar, Direktur LBH Mahatva Riau setali tiga uang. Menurut lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Uutara (UISU) Medan ini, BPHN belum memberikan penjelasan atau kisi-kisi perjanjian, termasuk bagaimana mekanisme penandatanganan kontrak itu kelak. Organisasi PBH yang berdomisili di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, itu masih berkonsentrasi mengurus status badan hukumnya ke Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM. Pengurusan harus dilakukan melalui notaris.

Pada dasarnya substansi kontrak adalah perjanjian antara pemerintah dengan PBH mengenai penggunaan dana bantuan hukum. Isinya antara lain mengatur para pihak, hak PBH mendapatkan dana, dan kewajiban melaksanakan bantuan hukum kepada warga miskin. Sedangkan hak pemerintah (Menteri Hukum dan HAM) mendapatkan laporan penggunaan dana beserta bukti-bukti penggunaan dana.

Hal lain yang kemungkinan diatur dalam perjanjian adalah pertanggungjawaban dana bantuan hukum. Normatifnya, setiap PBH wajib melaporkan realisasi anggaran bantuan hukum kepada Menteri Hukum dan HAM secara triwulan, semesteran, dan tahunan. Ayat, Firdaus dan Kalna tak mempersoalkan. “Itu kan kewajiban,” kata Ayat. “Kalau untuk transparansi dan akuntabilitas, tidak jadi masalah,” timpal Firdaus.

Tidak hanya dana APBN/APBD, organisasi PBH juga diwajibkan melaporkan hibah, sumbangan, atau sumber pendanaan lain yang diterima. Termasuk yang telah dimiliki pada saat proses verifikasi dan akreditasi. Kewajiban ini jelas tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan.

Berkaitan dengan pembatalan perjanjian, Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 menyebutkan Menteri Hukum dan HAM dapat membatalkan perjanjian pelaksanaan bantuan hukum jika PBH melakukan pelanggaran terhadap warga miskin penerima bantuan hukum. Jika Menteri mengakhiri perjanjian dengan satu PBH, Menteri menunjuk PBH lain yang akan mendampingi atau menjalankan kuasa penerima bantuan hukum.

Tags:

Berita Terkait