Kurator Ajukan Judicial Review Aturan Fee Kurator
Berita

Kurator Ajukan Judicial Review Aturan Fee Kurator

Pembuatan beleid Menteri tentang fee pengurus dan kurator dinilai tak sesuai prosedur.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Kurator Ajukan Judicial Review Aturan Fee Kurator
Hukumonline

Eks kurator Telkomsel, Feri S Samad mengajukan judicial review atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permen) No. 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus. Feri menduga pembentukan beleid tersebut ditujukan untuk kepentingan tertentu, tepatnya kepentingan PT Telekomunikasi Selular.

Tujuan pembentukan suatu peraturan untuk kepentingan golongan tertentu jelas-jelas dilarang. Alhasil, patut diduga materi Permen fee kurator bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Garis besar hal yang dimohonkan uji adalah terkait pihak yang dibebankan biaya kurator dan kriteria besaran imbalan kurator. Setidaknya ada tiga pasal dan dua lampiran yang perlu diuji, yaitu Pasal 2 ayat (1) huruf c, Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), dan Pasal 2 ayat (4). Selain Pasal 2, Feri juga menguji Pasal 4 huruf a dan b, Pasal 6, serta Lampiran I dan Lampiran II Permen fee kurator terhadap Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 76, serta Pasal 234 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Feri membeberkan isi pasal yang bertentangan itu. Pasal 2 ayat (1) huruf c Permen Kurator mengatur bahwa imbalan jasa dibebankan hanya kepada pemohon pailit jika kepailitannya batal di tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Padahal, Pasal 17 ayat (3) UU Kepailitan telah mengatur bahwa biaya kepailitan dan imbalan kurator tidak hanya dibebankan kepada pemohon pailit, tetapi ditanggung secara bersama-sama pemohon pailit dan debitor dengan perbandingan yang ditetapkan oleh majelis. Lagi pula, berdasarkan UU Kepailitan, Menteri Hukum dan HAM tidak berwenang untuk menentukan siapa pihak yang bertanggung jawab untuk menanggung imbalan kurator.

Dengan rumusan itu, Feri sebagai pemohon judicial review berpotensi tidak mendapatkan imbalan jasa dan penggantian biaya kepailitan. Apalagi jika pemohon pailit adalah kelompok ekonomi lemah, mereka akan sangat dirugikan oleh ketentuan tersebut. Padahal kurator bertanggung jawab atas seluruh aset debitor selama kepailitan berlangsung. Pengurusan itu meliputi pengurusan aset, utang, dan tagihan debitor.

“Penentuan pihak yang bertanggung jawab menanggung imbalan kurator tidak dapat sesuka hati atau tebak-tebak buah manggis, tetapi harus mengacu pada kondisi kepailitan itu sendiri, yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 ayat (3) UU Kepailitan,” tulis Feri dalam berkas permohonannya.

Selain dianggap telah sesuka hati dalam menentukan penanggung imbalan jasa kurator, Permen fee kurator, khususnya Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (4), Pasal 4 huruf a dan huruf b juga telah memerintahkan hakim untuk menentukan sendiri besaran imbalan kurator dengan mengacu pada pekerjaan yang telah dilakukan, tingkat kerumitan pekerjaan, kemampuan, dan tarif kerja.

Pertimbangan yang digunakan hanya berkaitan dengan tingkat kemampuan atau keahlian kurator dan tingkat kerumitan perkara. Artinya, beleid yang diterbitkan pada 11 Januari 2013 itu telah menambah materi yang sama sekali tidak diatur dalam UU Kepailitan. Hal ini bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu bertentangan dengan Pasal 76 dan Penjelasan Pasal 76 UU Kepailitan.

Feri juga menuding Permen melanggar asas dapat dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini terlihat dari kekacauan penempatan rujukan kata “kurator” dan “pengurus”. Contoh, Pasal 6 merujuk Pasal 2 dan Pasal 4. Padahal, Pasal 6 untuk menentukan imbalan jasa kurator, sedangkan pasal 4 mengatur penentuan imbalan jasa pengurus. Sehingga, menjadi tidak jelas relevansi keberadaan Pasal 4 dalam rumusan Pasal 6 Permen tersebut.

Peraturan itu  juga dinilai melanggar asas keterbukaan, asas kejelasan tujuan, asas kepastian, dan keadilan hukum. Untuk itu, Feri meminta agar Peraturan Menteri ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Permenkumham 1 Tahun 2013 bertentangan dengan norma konstitusi. Untuk itu, Permenkumham ini batal demi hukum,” pungkasnya. 

Tags:

Berita Terkait