Pokoknya Koruptor Harus Dihukum Berat!
Kolom

Pokoknya Koruptor Harus Dihukum Berat!

Semangat anti korupsi haruslah diimbangi dengan rasio dan dasar hukum yang kuat,

Bacaan 2 Menit
Pokoknya Koruptor Harus Dihukum Berat!
Hukumonline

Belakangan ini, semangat bangsa Indonesia melawan koruptor sedang tinggi-tingginya. Misalnya, polemik mengenai penafsiran PP No 99 Tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dipicu oleh kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta.

Atau polemik “Baju Tahanan KPK” yang baru-baru ini diperkenalkan kembali oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tujuan agar dapat lebih menimbulkan efek jera yang lebih bagi para tersangka dan narapidana kasus korupsi. Semuanya itu demi satu tujuan: "Pokoknya Koruptor Harus Dihukum Berat!"

Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa dan memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan sebuah bangsa, itu adalah merupakan Notoire feiten, yang tidak perlu lagi diperdebatkan lagi faktanya. Namun, cara menyikapi fakta tersebut dalam bentuk aturan-aturan membuka ruang diskursus yang luas.

Saya melihat ada dua hal krusial yang dapat diperdebatkan: Pertama, penambahan persyaratan khusus dalam PP 99, utamanya mengenai bersedia untuk bekerjasama dengan penegak hukum (cooperation with law enforcerment authorities). Kedua, mengenai baju tahanan KPK yang diperkenalkan kembali dengan berbagai model yang harus dipakai oleh tersangka maupun narapidana kasus korupsi.

Ranah Justice Collaborator
Polemik pertama, ada hal yang menarik dari penambahan persyaratan khusus bagi narapidana kasus-kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi untuk memperoleh remisi. Hal tersebut adalah mengenai terminologi "Bersedia Bekerjasama dengan Penegak Hukum" atau yang marak disebut dengan istilah Justice Collaborator.

Terminologi ini dikenal melalui United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yang kemudian diratifikasi Indonesia pada tahun 2009 melalui UU No 5 Tahun 2009. Di sana dikatakan bahwa kerjasama antara penegak hukum dengan tersangka (substantial cooperation) dapat menjadi dasar untuk meringankan hukuman bagi tersangka tersebut (mitigating punishment). Dengan penjelasan ini, maka dapat diambil pengertian bahwa status justice collaborator tersebut berada dalam ranah ajudikasi (persidangan).

Misalnya, hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat meringakan hukuman bagi para terdakwa yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam kasus US melawan Kimbrough (06-6330) dan US melawan Gall (06-7949) di tahun 2007 mengenai jaringan peredaran narkoba. Proses kerjasama ini dituangkan dalam bentuk Plea and Cooperation Agreement dengan kejaksaan. Penegak hukum tidak dapat menentukan sendiri apakah seseorang dapat mendapatkan predikat justice collaborator karena hakim yang nantinya akan menentukan pantas atau tidaknya seorang tersangka/terdakwa menyandang status tersebut pada saat persidangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait