Kultur Menghukum Hambat Penerapan Diversi
Berita

Kultur Menghukum Hambat Penerapan Diversi

Kesepakatan antara pelaku dan korban sangat menentukan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Kultur Menghukum Hambat Penerapan Diversi
Hukumonline

Keinginan besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara bukan saja membuat  penjara penuh, tetapi juga menghambat penerapan keadilan restoratif. Bahkan dalam hal pelaku tindak pidana adalah anak-anak, kultur menghukum yang tumbuh subur di masyarakat akan menghambat penerapan diversi.

Prof. M. Taufik Makarao, Guru Besar Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta, mengatakan kultur sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung selalu ingin menghukum justru belum mendukung penerapan restorative justice, termasuk diversi.

Padahal, menghukum pelaku anak-anak di bawah umur apalagi mengirimnya ke penjara dalam waktu lama tak akan menyelesaikan sepenuhnya masalah yang dihadapi. “Kultur masyarakat menurut saya belum mendukung penerapan restorative justice, sebab sebagian masyarakat masih berfikiran retributiveatau penghukuman,” papar Prof. Taufik Makarao dalam wawancaranya dengan hukumonline.

Ia percaya aparat penegak hukum lebih mudah memahami dan menjalankan restorative justice karena sudah diatur dalam perundang-undangan. “Kultur aparat penegak hukum itu biasanya bersifat normatifnya,” ujarnya.

Konsep keadilan restoratif dan diversi memang sudah diperkenalkan lewat UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari solusi yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Komitmen untuk menerapkan restorative justice, khususnya dalam hal pelaku adalah anak-anak, harus didasarkan pada penghargaan terhadap anak sebagai titipan yang mempunyai kehormatan. Apalagi Indonesia adalah negara pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Sebagai negara pihak, Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

UU SPPA merupakan salah satu alat bagi Indonesia untuk menerapkan perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Memberikan keadilan restoratit kepada anak yang berhadapan dengan hukum tak didasarkan pada aksi balas dendam, sebagaimana konsep penghukuman selama ini dipahami.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait