Potensi Korupsi di SKK Migas Tetap Ada
Berita

Potensi Korupsi di SKK Migas Tetap Ada

Meski anggaran lembaga itu diatur APBN nantinya.

Oleh:
CR15
Bacaan 2 Menit
Potensi Korupsi di SKK Migas Tetap Ada
Hukumonline

Menteri ESDM Jero Wacik telah menyatakan anggaran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) masuk APBN. Pernyataan Jero ini tak lepas dari rekomendasi BPK. Namun, hal itu diyakini tak menjamin SKK Migas bebas dari praktik korupsi.

Pengamat Migas yang juga mantan Direktur Umum PT Pertamina (Persero), Waluyo, mengatakan masuknya anggaran SKK Migas ke dalam skema APBN tak menjamin lembaga tersebut bebas dari potensi korupsi. Ia mengingatkan, kementerian sebagai lembaga yang anggarannya diatur dalam APBN pada kenyataannya banyak ditemukan praktik korupsi.

“Memasukan anggaran ke APBN tidak menghilangkan kemungkinan-kemungkinan adanya praktik korupsi. Di kementerian yang anggarannya dari APBN pun banyak korupsi. Ini tidak menghilangkan penyakit. Obat mujarab yang sebenarnya yang harus dicari,” tandas Waluyo dalam Diskusi Keuangan Negara di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (12/9).

Menurut Waluyo, penyakit utama potensi korupsi di lembaga negara termasuk SKK Migas adalah lemahnya perencanaan dan pengorganisasian. Salah satu indikasi yang ditangkap Waluyo adalah penyerapan anggarannya yang tidak maksimal.

“Sistem yang baik baru akan bekerja kalau seandainya ada lingkungan organisasi yang beretika. Lingkungan ini diciptakan oleh pimpinan, jadi aspek kepemimpinan sangat mempengaruhi,” katanya.

Sebelumnya, BPK meminta pemerintah untuk memperbaiki mekanisme pendanaan SKK Migas yang selama ini dilakukan tanpa mekanisme APBN. BPK mencatat pemerintah membiayai SKK Migas langsung dari penerimaan minyak dan gas. Hal ini bertentangan dengan UU Keuangan Negara Pasal 3 Ayat 5.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Zainudin Amali mengakui, selama ini pihaknya telah melakukan pengawasan secara maksimal terhadap SKK Migas. Hanya saja, pengawasan yang dilakukan memang terbatas pada hal-hal menyangkut kebijakan. Oleh karena itu, DPR tidak bisa mengawasi dari hari ke hari dalam tataran implementasi teknis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait