Jatam : Audit BPK Belum Gambarkan Hal Sesungguhnya
Aktual

Jatam : Audit BPK Belum Gambarkan Hal Sesungguhnya

Oleh:
INU
Bacaan 2 Menit
Jatam : Audit BPK Belum Gambarkan Hal Sesungguhnya
Hukumonline

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengapresiasi hasil Audit BPK pada tambang batu bara di Kalimantan (2010 dan 2011). Hasil audit BPK itu mengungkapkan, dari 247 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, 64 perusahaan diantaranya tidak membuat rencana reklamasi pasca tambang dan 73 perusahaan tidak setor dana jaminan reklamasi.

Jatam menilai proses audit ini cukup maju. Namun, belum menunjukkan hal sebenarnya akan kerusakan yang terjadi serta dampaknya bagi kehidupan masyarakat di Pulau Kalimantan.

Berdasarkan hasil monitoring dan investigasi hingga tahun 2013, Jatam menemukan beberapa fakta. Saat ini total penguasaan lahan tambang di Kaltim sekitar tujuh juga ha. Terdiri dari dari 1.451 IUP dengan luas 5,314 juta ha. Sebanyak 67 PKP2B menguasai lahan 1,624 juta ha. Lalu lima Kontrak Karya (KK) luas konsesi 29.201.34 hektar.

Sedangkan jumlah penduduk Kaltim sebanyak 3,908 juta jiwa. Menurut Jatam, penguasaan lahan tambang itu jika diporsentasekan berdasarkan UU No.5 Tahun 1960 tentang hak kepemilikan atas tanah, seluas dua ha bagi tiap warga negara. “Maka, rasionya setiap jiwa warga Kaltim kehilangan setengah hektar cadangan pemukiman dan usaha-usaha tani,” tulis Andika, manajer penggalangan dukungan Jatam dalam siaran pers, Minggu (22/9).

Selain itu, tingkat keselamatan rakyat jauh dari aman. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tercatat, sejak 2009 hingga 2012 tercatat 1.374 kejadian dengan kerugian mencapai Rp169 miliar dan korban meninggal 143 orang. Jika dirata-ratakan pada periode tersebut, terjadi 343 bencana per tahun. Sedangkan pada tahun  2013, terjadi sebanyak 23 kali banjir yang memaksa 785.635 jiwa mengungsi.

Olek karena itu, Jatam menyimpulkan, jika logika produksi yang kapitalistik terus dipelihara, krisis ekologi berdampak pada memburuknya tingkat kehidupan masyarakat antar pulau, akan berlangsung makin cepat. Keadaan ini berawal dari komodifikasi alam tanpa melalui perencanaan secara sosial sesuai kebutuhan berdasarkan pertimbangan daya dukung ruang dan lingkungan.

Menurut Jatam, para pemilik korporasi tambang hanya peduli pada laba atas nama kebutuhan pasar global. Andika menambahkan, praktik seperti ini berlangsung hampir dua generasi, terutama Kaltim sebagai situs produksi komoditi batubara. “Persediaan ‘bekal hidup’ warga dihancurkan sementara reklamasi pasca tambang tidak memiliki kepastian.” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait