MA Keluhkan Pelaksanaan Perma Tipiring
Berita

MA Keluhkan Pelaksanaan Perma Tipiring

Kepolisian dan Kejaksaan masih sering mengabaikan Perma.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MA Keluhkan Pelaksanaan Perma Tipiring
Hukumonline

MA mengeluhkan pelaksanaan Perma No. 2Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (Tipiring) yang dirasa belum maksimal. Sebab, sejumlah penanganan perkara tipiring di kepolisian dan kejaksaan masih diproses dengan prosedur biasa hingga tingkat kasasi di MA. Imbasnya, pelaku tipiring masih memadati lembaga pemasyarakatan (Lapas).   

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur mengingatkan kembali adanya nota kesepahaman antara MA dengan Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham terkait pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2012 itu. Salah satu kesepahaman itu untuk mengurangi penumpukan jumlah penghuni Lapas dan Rumah Tahanan (Rutan) yang selama ini selalu kelebihan kapasitas.

Dia mengungkapkan pasca nota kesepahaman itu belum ada realisasi dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Sebab, faktanya permohonan kasasi atas perkara tipiring masih menumpuk di meja hakim agung. Padahal, jika dikategorikan perkara tipiring disepakati proses persidangannya singkat, hakimnya tunggal, terdakwanya tak perlu ditahan, dan prosesnya cukup sampai tingkat banding.

Ditegaskan Ridwan penanganan perkara tipiring ini untuk membatasi perkara tindak pidana anak, kerugian korban di bawah Rp2,5 juta, pengguna narkoba, termasuk dimungkinkannya penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun, selama ini kasus yang dikategorikan tipiring seolah dianggap kasus berat, sehingga merugikan terdakwa karena proses persidangan berlangsung lama.

”Misalnya kasus pengguna narkoba. Oleh polisi sejak awal dijerat pengguna dan pengedar. Sama hakim divonis rehabilitasi. Tetapi karena tempat rehabilitasi tidak jelas di mana, akhirnya tahanannya cuma ngendon di rutan, terpidana bukan, masa tahanan sudah lewat, padahal perintah rehabilitasi,” ujar Ridwan saat dihubungi, Senin (23/9).   

Pihaknya, memahami alasan kepolisian dan kejaksaan memproses perkara yang semestinya ringan menjadi dakwaan yang lebih berat karena khawatir pelaku kejahatan tipiring itu menjadi bebas. ”Polisi alasannya takut terdakwanya bebas. Misalnya, kalau cuma didakwa menggunakan (narkoba) ternyata dia cuma bawa, terus dibebaskan hakim. Bisa kena eksaminasi polisi dan jaksanya,” ungkap Ridwan.

Menurutnya, alasan itu dinilainya tidak tepat karena selain tidak fair bagi terdakwa, pada akhirnya juga merugikan Lapas dan negara. Sebab, biaya mengurus tahanan di Lapas atau Rutan tidak murah. Misalnya, untuk satu orang rata-rata sebesar Rp50 ribu per hari untuk biaya makan.  

Halaman Selanjutnya:
Tags: