Menjaga Lingkungan dengan Konvensi Rotterdam
Utama

Menjaga Lingkungan dengan Konvensi Rotterdam

Hingga kini sudah ada 23 perjanjian internasional bidang lingkungan hidup yang diratifikasi Indonesia.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya dan Ketua Komisi VII DPR Soetan Batoegana (Foto: MYS)
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya dan Ketua Komisi VII DPR Soetan Batoegana (Foto: MYS)

Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, berkali-kali mengingatkan pentingnya Indonesia meratifikasi Konvensi Rotterdam dalam acara sosialisasi Undang-Undang No. 10 Tahun 2013, di Jakarta, Selasa (12/11). Sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah ‘surga’ bagi pembuangan segala jenis limbah berbahaya dan beracun, termasuk bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu.  

Tanpa pengawasan maksimal, wilayah lautan Indonesia rawan menjadi tempat buangan limbah kimia dan pestisida berbahaya, atau bahan berbahaya lainnya. Ancaman itu riil karena Indonesia sudah pernah mendapat kiriman limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari luar negeri. Juni tahun lalu, misalnya Bea Cukai dan Kementerian Ligkungan Hidup terpaksa harus merekspor kembali 113 kontainer logam bekas asal Inggris yang tercemar limbah B3. Jika tetap dibiarkan di Indonesia, dampaknya sudah jelas: lingkungan tercemar, dan kesehatan terganggu.

Itulah sebabnya, kata Balthasar, pemerintah meratifikasi Konvensi Rotterdam. Hasil ratifikasi adalah UU No. 10 Tahun 2013tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan Internasional (Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade). Ratifikasi ini, kata Balthasar, baru tahap awal menuju Indonesia sebagai negara pihak.

Meski baru tahap awal, ia yakin ada banyak manfaat keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Rotterdam, “Konvensi ini melindungi rakyat Indonesia dari dampak negatif perdagangan internasional bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu,” ucap Balthasar.

Rezim perdagangan internasional mengizinkan jual beli limbah B3. Jika tak dikendalikan, negara seperti Indonesia rawan menjadi sasaran pengiriman limbah. Konvensi Rotterdam mencoba mengatur agar negara-negara anggota memberikan informasi awal pengiriman bahan kimia dan pestisida tertentu yang berlebihan.

Kesepahaman untuk saling berbagi informasi pengiriman limbah itu, kata Balthasar, penting agar Indonesia sejak bisa menentukan sikap apakah menerima atau menolak kiriman bahan kimia dan pestisida tersebut. “Kita bisa menentukan sikap,” ujanya.

Urgensi ratifikasi juga diamini Soetan Batoegana. Ketua Komisi VII DPR ini melihat ancaman pengiriman limbah ke Indonesia sudah nyata. Misalnya limbah obat-obatan dan logam bekas. “Karena itu DPR mendukung ratifikasi Konvensi Rotterdam,” kata Soetan. Konvensi Rotterdam sudah diratifikasi 153 negara.

Balthasar menambahkan Konvensi Rotterdam bisa dijalankan karena sebelumnya sudah ditopang regulasi nasional. Sekadar contoh, sudah ada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida,  dan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

Dukungan legislasi untuk menjaga lingkungan juga datang dari komunitas internasional. Dijelaskan Balthasar, hingga kini Indonesia sudah menandatangani 23 perjanjian internasional bidang lingkungan hidup, baik berbentuk protokol maupun konvensi.

Pasal 58 UU PPLH menyebutkan setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.

Tags:

Berita Terkait