Dua Prinsip yang Dipegang Tim Penyusun RUU KUHAP
SPHN 2013:

Dua Prinsip yang Dipegang Tim Penyusun RUU KUHAP

Masyarakat kurang percaya pada aparat berdasarkan pengalaman riil.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2013 yang diselenggarakan KHN (Foto: SGP)
Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2013 yang diselenggarakan KHN (Foto: SGP)

Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP, Prof. Andi Hamzah, menegaskan selama ini ada dua prinsip yang dipegang tim penyusun ketika merumuskan materi RUU. Berdasarkan prinsip itulah tim berhasil menyelesaikan draf dan kini udah di tangan DPR. Penegasan terhadap dua prinsip itu disampaikan Andi Hamzah saat tampil sebagai pembicara dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) Tahun 2013 yang diselenggarakan KHN di Jakarta, Rabu (27/11).

Prinsip pertama, tidak boleh ada ego sektoral. Penyusunan revisi KUHAP melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Tidak boleh ada sektor yang merasa lebih baik dari sektor lain, dan tidak boleh ada anggota tim yang lebih mementingkan sektornya sendiri.

Prinsip kedua, semua orang dianggap jujur. Ketika menyusun materi RUU, Tim Penyusun tak berprasangak buruk terhadap pemangku kepentingan yang akan diatur. Polisi, advokat, jaksa, dan hakim dianggap jujur menjalankan tugasnya, sehingga proses yang diatur dalam KUHAP berjalan normal dan sesuai prosedur. Sikap ini penting karena, Andi Hamzah berpandangan, kalau tidak proses pembahasan tidak akan selesai. “Kalau semua dianggap tidak jujur, tidak ada Undang-Undang yang bisa dibuat,” ujar Guru Besar Universitas Trisakti itu.

Dalam SPHN 2013 memang masih mencuat kecurigaan terhadap aparat penegak hukum, terutama ketika membahas topik hakim pemeriksa pendahuluan. Mekanisme ini, plus hakim komisaris,  diperkenalkan RUU KUHAP untuk ‘menggantikan’ praperadilan. Kelak akan ada hakim yang bertugas ‘jembut bola’ memeriksa keabsahan penahanan. Sang hakim berkantor di dekat penjara. Ia cukup memeriksa berkas-berkas untuk menentukan layak tidaknya seseorang ditahan.

Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta, Eddy O.S. Hiariej, termasuk yang mempertanyakan objektivitas hakim pemeriksa pendahuluan di zaman ketika mafia peradilan belum terkikis. “Tidak ada jaminan tdak ada pelanggaran,” tandasnya di forum yang sama.

Endang Suparta, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, menyoroti minimnya pengawasan terhadap upaya paksa seperti penahanan selama ini.”Saat ini tersangka atau terdakwa rentan menjadi korban penyalahgunaan kewenangan dari penegak hukum,” papar Endang.

Ia menilai lembaga praperadilan sudah usang dan tak sesuai lagi dengan perkembangan. Berdasarkan praktek selama ini, praperadilan ternyata tidak mampu melindungi hak tersangka atau tersangka dari penyalahgunaan kewenangan penyidik atau jaksa. Ironisnya, hakim terkesan enggan mengoreksi penyimpangan yang disampaikan tersangka dalam praperadilan. Dalam penahanan, misalnya, hakim tak menguji secara sungguh-sungguh kebenaran alasan objektif dan subjektif penyidik.

Cuma, seperti kata Andi Hamzah, RUU KUHAP, harus disusun berdasarkan prasangak baik. Polisi bersikap jujur menjalankan tugas. Demikian juga jaksa, hakim, dan advokat.

Tags:

Berita Terkait